Fikih Kebinekaan : Memaknai ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah
"Amin Abdullah"
“Just Summary”
Metode Memahami al-Qur’an dan al-Sunnah
Tekstualis, Semi Tekstualis, dan Kontekstualis
6 Fitur pendekatan system yang dikemukakan oleh Jasser Auda
Pertama, Fitur Kognitif. Kedua, Fitur Kemenyeluruhan. Ketiga, Fitur Keterbukaan. Keempat, Fitur hierarki – saling berkaitan. Kelima, Fitur Multi – Dimensional. Keenam, Fitur Kebermaksudan, tujuan utama ditujukan pada sumber primer dan sumber rasional (qiyas, istihsan, dll)
Enam fitur di atas sesungguhnya merupakan satu entitas keutuhan alat berpikir yang saling terkait dan saling menembus antara yang satu dan lain (semipermeable) yang kemudian membentuk satu kesatuan system berpikir.
Pada intinya, Jasser Auda menegaskan bahwa Maqashid hukum Islam merupakan tujuan inti dari seluruh metodologi ijtihad ushul, baik linguistic maupun rasional. Lebih jauh, realisasi Maqashid dari sudut pandang teori system, ingin mempertahankan keterbukaan, pembaruan, realisme, dan keluwesan dalam system hukum Islam dan pandangan dunia umat Islam pada umumnya.
Pergeseran Paradigma Maqashid al-Syari’ah
Ada lima pokok permasalahan tuntutan masyarakat kontemporer yang sering dibicarakan di ruang publik dan besar pengaruhnya dalam kehidupan beragama.
Pertama, menyangkut soal pemerataan dan kualitas pendidikan termasuk di dalamnya pengetahuan keagamaan (religious literacy).
Kedua, eksistensi negara bangsa (nation-states) karena tidak semua umat beragama merasa nyaman hidup di era negara-bangsa dengan system demokrasi sebagai pengatur lalu lintas alih kepemimpinan.
Ketiga, pemahaman manusia beragama era modern tentang martabat kemanusiaan. Persyarikatan bangsa bangsa selalu memantau bagaimana negara dan seluruh warganya melindungi dan menjaga martabat kemanusiaan.
Keempat, semakin dekatnya hubungan antar umat berbagai agama di berbagai negara sekarang ini.
Kelima, kesetaraan dan keadilan gender.
Kelima poin tersebut membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Terjadi ‘revolusi kebudayaan’ baik secara diam-diam atau terang-terangan sehingga berakibat pada pemahaman keagamaan secara konvensional/ tradisional/ taqlidiyyah.
Makna al-Ruju’ ila al-Qur’an dan al-Sunnah ternyata lebih luas dari apa yang biasa kita dengar dan kita advokasikan selama ini. Pertanyaan klasik dari Syekh Amir Sakib Arsalan sekita 100 tahun yang lalu. Limadza ta’akhara al-Muslimun wa taqaddama ghairuhum ? Mengapa umat Islam tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia ?
Siapapun dapat mengajukan jawabannya dengan versinya masing-masing. Jangan-jangan salah satu jawabannya masih tersembunyi di bawah alam sadar umat Islam di seluruh dunia adalah jenis pilihan bacaan terhadap kitab suci yang masih bercorak tekstualis, semi-tekstualis yang berujung pada pilihan bacaan yang bermuatan madzhabiyyah dan hizbiyyah yang sangat eksklusif.
Rabu, 04 November 2015
Senin, 30 Desember 2013
REVIEW BUKU “MADZAHIBUT TAFSIR”
REVIEW BUKU “MADZAHIBUT TAFSIR”
A. Pendahuluan
Kaum Muslimin memiliki tradisi yang
khas dibandingkan umat agama lain yang memiliki kitab suci. Alquran, sebagai
kitab suci kaum Muslimin layaknya mata air yang tidak kering. Darinya kaum
Muslimin menimba berbagai hikmah yang diperlukannya untuk menjalani kehidupan.
Di dalam naungan Alquran, kreativitas keilmuan di kalangan umat tumbuh dan
berkembang dengan suburnya. Lahir kemudian cabang-cabang ilmu keislaman yang
telah beratus-ratus tahun memberikan manfaat bagi peradaban manusia.
Salah satu cabang ilmu terpenting berkaitan dengan Alquran adalah tafsir. Sejak
zaman Nabi sampai sekarang, tradisi penafsiran Alquran tidak pernah berhenti.
Berbagai corak tafsir pun diproduksi dari berbagai corak pemikiran. Sejarah
mengenal berbagai macam corak penafsiran baik yang semasa maupun berbeda zaman.
Berbagai corak tafsir itu kemudian mencoba dipotret dan dipetakan oleh
cendekiawan yang datang belakangan. Tercatat nama-nama seperti Muhammad Husain
al-Dzahabi dengan karyanya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (1961), Abû Yaqzhan
‘Athiyyah al-Jabûrî dengan kitab Dirâsah fi al-Tafsîr wa Rijâlihi (1971) dan
Abdul ‘Azhîm Ahmad al-Ghubasy yang menulis Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij
al-Mufassirîn (1977) dan lain-lain. (hal.3)
Di Indonesia, ada beberapa buku yang membahas beberapa kitab tafsir seperti
Studi Kitab Tafsir yang ditulis oleh beberapa orang dosen Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku yang secara khusus
memeta-metakan berbagai corak pemikiran (madzhab) dalam bidang ini di antaranya
ditulis oleh Abdul Mustaqim dengan tajuk Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi
Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Tulisan ini dimaksudkan
untuk mereview buku yang disebutkan terakhir.
Kajian tentang Madzahibut Tafsir sendiri menjadi mata kuliah wajib studi Tafsir
Hadits di berbagai perguruan tinggi yang membuka program studi Tafsir Hadits,
termasuk Universitas Ahmad Dahlan.
Terma madzahibut tafsir sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Ali Hasan Abdul
Qadir yang menerjemahkan buku Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung
karya Ignaz Goldziher ke dalam bahasa Arab dengan tajuk Madzahib al-Tafsir
al-Islami (1955).
B. Review
Buku Madzahibut Tafsir karya Abdul Mustaqim dan disunting oleh Hudalloh ini
pertama kali diterbitkan oleh penerbit Nun Pustaka Yogyakarta pada bulan
Februari 2003. Dicetak dalam 137+xviii halaman, termasuk pengantar penulis,
kata pengantar oleh Guru Besar Filsafat Islam dan Rektor IAIN (sekarang UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, isi, daftar pustaka, indeks, dan biodata
penulis.
Secara garis besar isi buku ini membahas tinjauan ontologis, epistemologis,
serta aksiologis dari madzahibut tafsir yang diuraikan dalam Bab I, disusul
dengan kategorisasi madzhab tafsir di dalam bab-bab selanjutnya. Bab II berisi
Madzahibut Tafsir periode Klasik, Bab III Madzahibut Tafsir Periode
Pertengahan, Bab IV Madzahibut Tafsir Periode Kontemporer, dan terakhir Bab V
yaitu Penutup.
Menurut penulis, munculnya madzahibut tafsir merupakan sebuah keniscayaan
sejarah. Sebab, setiap generasi ingin selalu “megkonsumsi” dan
menjadikanAlquran sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai
legitimasi bagi tindakan dan perilakunya. Penulis mengafirmasi Ignaz Goldziher
yang menyatakan bahwa setiap aliran pemikiran yang muncul dalam sejarah umat
Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan justifikasi dari kitab
sucinya (al-Quran) (hal. 4-5).
Secara rinci, faktor-faktor yang menyebabkan munculnya madzhab-madzhab tafsir
secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal (al-‘awâmil
al-dakhiliyah) dan faktor eksternal (al-‘awâmil al-khârijiyah).
Faktor internal adalah hal-hal yang ada di dalam internal teks itu sendiri,
yaitu:
Pertama, kondisi teks Alquran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara
beragam. Dalam hal ini dikenal beberapa variasi bacaan Alquran yang dikenal
dengan sab’atu ahruf.
Kedua, kondisi objektif dari kata-kata (kalimah) dalam Alquran yang memang
memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
Ketiga, adanya ambiguitas makna dalam Alquran. Hal ini, misalnya disebabkan
karena adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda), ataupun terdapatnya
kata-kata yang dapat diartikan secara hakiki maupun majazi.
Jumat, 27 Desember 2013
CONTOH HASIL PENELITIAN RIJAL HADITS
HASIL PENELITIAN RIJAL HADITS
Teks Hadits dan Terjemahannya
705 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ سِمَاكِ
بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ :
كَانَ بِلَالٌ لَا يُؤَخِّرُ الْأَذَانَ عَنْ
الْوَقْتِ وَرُبَّمَا أَخَّرَ الْإِقَامَةَ شَيْئًا[1]
Artinya :
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Dawud berkata, telah menceritakan
kepada kami Syarik dari Simak bin Harb dari Jabir
bin Samurah ia berkata; "Bilal adalah orang yang tidak
mengakhirkan adzan dari waktunya, dan terkadang dia mengakhirkan iqamah
beberapa saat.“ (HR. Ibnu Majah : 705)[2]
Untuk melihat
keshahihan sebuah Hadits, kaidah Ilmu Hadits menyatakan bahwa yang pertama kali
peril diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan shahih, barulah matan-nya
bias diperhatikan. Bila tidak, maka matannya dipandang tidak shahih lagi. Untuk
menguji keshahihan sanad Hadits diatas, berikut ini akan ditelusuri identitas
para perawinya. Sample yang diambil adalah jalur: Nabi Muhammad SAW Jabir bin Samurah Simak bin Harb Syarik Abu
Dawud Muhammad
bin Al Mutsanna Ibnu Majah. Berikut ini identitas orang –
orang yang meriwayatkan dari jalur tersebut.
Berikut daftar para
periwayat Haditsnya
1.
Jabir
bin Samrah ( w. 73 / 74 H )
Nama lengkap beliau Jabir bin Samrah bin Janadah bin ‘Amru, nama masyhur
beliau jabir bin Samrah al ‘Amir dengan julukannya Abu ‘Abdullah atau Abu
Khalid, beliau dari kalangan Sahabat beliau hidup di Kufah dan wafat di Basyrah
sekitar tahun 73 H, namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa beliau
wafat pada tahun 74 H[3].
Beliau berguru
kepada Rasulullah Muhammad SAW, namun selain itu beliau juga berguru
kepada antara lain diantaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Sa’id bin
Abi Waqash, Abdulah bin Abbas, dan Samrah bin Janadah as Sawani (Ayahnya).
Sedangkan murid-murid beliau Ja’far bin Abi Tsaur, Sulaiman bin Mahran, Simak
bin Harb[4], Amir bin Sa’ad, dan Abdul Malik bin ‘Amir[5].
Kritik Ulama Hadits
terhadap beliau adalah kebanyakan Ulama menyatakan bahwa beliau dari kalangan
Sahabat, diantaranya adalah Abu Hatim ar Razi, Ibnu Hajar al Atsqalani, dan Abu
Hatim bin Hibban.
2.
Simak
bin Harb ( w. 123 H )
Nama lengkap beliau Simak bin Harb bin Aus bin
Khalid bin Nizar bin Muawiyah bin Haritsah bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Dzuhli bin
Tsa’labah az Dzuhli al Bakri[6],
beliau Masyhur dengan nama Simak bin Harb az Dzuhli, julukannya Abu Al
Mughirah, beliau seorang Tabi’in kalangan biasa. Negeri semasa hidup
beliau adalah di Kufah. Beliau wafat pada tahun 123 H.
Guru-guru beliau adalah al Qasim bin Abdurrahman, Jabir
bin Samrah, Ja’far bin Abi Tsaur, Khalid bin ‘Amir, dan ‘Abdullah bin
Ja’far. Sedangkan orang-orang yang berguru kepada beliau adalah Hasan bin Musa,
Syarik bin 'Abdullah al Qadhi, Syu’aib bin Khalid, Daud bin Yazid, dan
Hakim bin ‘Amir[7].
Kritik ulama terhadap beliau : Yahya bin Ma’in
menyebutkan bahwa beliau seorang yang Tsiqah, Abu Hatim ar- Rozy dan an-
Nasa’I menyebutkan beliau Tsiqah[8],
Adz-
Dzahabi menuturkan bahwa beliau Tsiqah, Namun berbeda dengan yang lain
Ibnu Hibban mengatakan bahwa beliau Banyak Salah (يخطئ خطئا
كثيرا. )[9]
3.
Syarik
( 95 H – 177 H )
Nama lengkap beliau adalah Syarik bin 'Abdullah al
Qadhi[10].
Laqab beliau adalah Ibnu Abi Syarik beliau dari kalangan Tabiut Tabi’in. Beliau
hidup di Kufah lahir pada tahun 95 H[11]
dan beliau wafat pada tahun 177 H[12].
Guru-guru beliau dalam studi Hadits adalah Hamid bin
Hilal, Ja’far as Shadieq, Simak bin Harb, Jarier bin Abdul Hamid, dan
Husain al Kufiy. Sedangkan murid-murid beliau adalah Abu Daud at Thayalisi,
Sulaiman bi Bilal, Salam bin Salim al Hanafi, Abdurrahman bin Syarik, dan
Abdullah bin Mubarok[13].
Kritik ulama Hadits terhadap beliau : Ahmad bin
Hambal dan Abu Hatim mengatakan bahwa beliau Shaduq, Yahya bin Ma’in
juga berpendapat bahwa beliau Shaduq Tsiqah, sedangkan Ibnu Hajar
al-Atsqalany mengatakan bahwa beliau "Shaduq, terdapat
kesalahan"[14].
4.
Abu
Daud ( 131 H – 203 H )
Nama lengkap beliau adalah Sulaiman bin Daud bin Al
Jarud, beliau masyhur dengan nama Abu Daud at Thayalisi[15],
julukannya Abu Daud, beliau merupakan seorang Tabi’ut Tabi’in dari
kalangan biasa. Negeri semasa hidup beliau adalah di Basyrah dan beliau lahir
pada tahun 131 H dan wafat pada tahun 203 H, namun ada juga yang mengatakan
beliau wafat pada tahun 204 H.
Guru – guru beliau diantara lain adalah Syarik
bin 'Abdullah al Qadhi, Salam bin Salim at Tamimi, Sa’id bin ‘Abdul ‘Azis,
Sa’id bin ‘Abdurrahman, dan Ja’far bin Zubair. Sedangkan Murid-murid beliau
antara lain adalah Muhammad bin al Mutsanna al ‘Anazi[16],
Muhammad bin Idris, Muhammad bin Ja’far, Ziyad bin Yahya dan Ibrahim bin Ziyad
al Baghdadi[17].
Kritik ulama Hadits terhadap beliau adalah : Ahmad
bin Hambal mengatakan bahwa beliau adalah seorang yang Tsiqah Shaduq[18],
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa beliau Shaduq, Al- Ajli’ mengatakan
bahwa beliau itu Tsiqah dan banyak hafalannya, dan yang terakhir yaitu
Adz Dzahabi menuturkan bahwa beliau seorang Al Hafidz.
5.
Muhammad
bin al- Mutsanna ( 167 H – 252 H )
Nama lengkap beliau Muhammad bin al Mutsanna bin
'Ubaid bin Qois bin Dinar, nama Masyhur beliau adalah Muhammad bin al Mutsanna
al ‘Anazi[19],
dengan kuniyahnya adalah Abu Musa, beliau adalah seorang Tabi’ul Atba’
kalangan tua, beliau lahir pada tahun 167 H dan negeri semasa hidup beliau itu
di Basyrah dan beliau wafat pada tahun 252 H[20]
tepatnya ketika beliau berumur 85 tahun[21].
Guru-guru beliau adalah Abdurrahman bin Mubarak,
Abdullah bin Idris al ‘Audi, Muhammad bin Abi Hamid al Anshari, Abu Daud at Thayalisi, dan Musa bin
Mas’ud. Sedangkan Murid-murid beliau adalah Muhammad bin Jarir ath Thobari,
Muhammad bin ‘Isa at Tirmidzi, Muhammad bin Harun al Jauhari, Abu Abdullah
ar Rib’I (Ibnu Majah), dan Muhammad bin Yahya al Baghdadi[22].
Kritik ulama Hadits terhadap beliau adalah : Yahya
bin Ma’in mengatakan bahwa beliau itu Tsiqah, Abu Hatim mengatakan
beliau Shalihul Hadits, Maslamah bin Qasim mengatakan beliau Tsiqah
Masyhur dan juga Huffadz, Adz Dzahabi mengatakan beliau Tsiqah
dan yang terakhir Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan bahwa beliau Tsiqah
Tsabit[23].
6.
Ibnu
Majah ( 209 H – 273 H )
Nama lengkap beliau Muhammad bin Yazid bin Mâjah al
Qazwînî,[24]
julukannya Abu ‘Abdullâh, nasab beliau 1. Ar Rib’I; merupakan nisbah
wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab. 2. al Qazwînî adalah
nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di
kawasan ‘Iraq.
Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; "aku
dilahirkan pada tahun 209 H / 284 M[25].
Masa pertumbuhan beliau berada di Qazwin. Maka Qazwin merupakan tempat lahir
dan tinggal beliau. Beliau meninggal pada hari senin, tanggal 22 Ramadhan 273 H
/ 887 M[26].
Dimakamkan esok harinya pada hari selasa[27]
ditanah kelahiran beliau di Qazwin, Iraq[28].
Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepada beliau.
Persaksian
para ulama terhadap beliau :
Al HafizhAl Khalili menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah
seorang yang tsiqah kabir, muttafaq ‘alaih, dapat di jadikan sebagai hujjah,
memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits, dan hafalan.” [29]
Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan; "(Ibnu Majah)
adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir."
Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang
hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.”
Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik
kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan
pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah
dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang. Kitabnya terdiri dari 150 bab,
4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.[30]
Dengan melihat
analisa sanad hadits diatas, dapat dilihat bahwa hampir seluruh periwayat
hadits dalam sanad Ibnu Majah diatas bersifat Tsiqah, namun ada dua
orang periwayat yang dikritik yaitu Simak
bin Harb dan Syarik bin 'Abdullah al Qadhi yang menurut ulama bahwa mereka shaduq
tapi memiliki kesalahan, dapat juga diketahui bahwa sanad hadits diatas bersambung
dari sumber hadits yakni Rasulullah Muhammad SAW sampai kepada periwayat
terakhir Imam Ibnu Majah yang sekaligus sebagai Mukharrij al- Hadits.
Hal ini berarti sanad Hadits yang diteliti, sanad Hadits tentang “As- Sunnah fil Adzan”
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berkualitas Hasan.
[1] Al- Qozawaini, Muhammad bin
Yazid Abu Abdullah, Tahqiq : Muhammad Fuad Abdul Baqie’ “Sunan Ibnu Majah”
( Beirut : Daar el Fikr ) juz 1 hlm. 236, Lihat Software Maktabah Syamilah
“Sunan Ibnu Majah” bab As- Sunnah fil Adzan Juz 2 nomer Hadits 705. Hlm 412,
Software Gawami’ul Kalim, Lidwa Pusaka, dan Mausu’ah Hadits asy- Syarif.
[2] Lihat Software Lidwa Pustaka
“Kitab Sembilan Imam” Sunan Ibnu Majah Kitab Adzan dan Sunnah yang ada
didalamnya Bab Sunnah dalam Adzan nomer
Hadits 705
[3] Lihat Software Maktabah Syamilah
“Tahzibul Kamal fi Asma’I Rijal” Juz 4 hlm 439
[4]
Abdurrahman bin Abi Hatim “al-
Jarh wa at- Ta’dil” (Beirut : Daar Ihya’I at- Turats al- ‘Araby: 1271/1952)
Juz 2, hlm. 475
[5]
Lihat Software Gawami’ul
Kalim (nomer rawi : 9953) dan Tahzibul Kamal (nomer rawi : 867)
[6]
Ahmad bin Ali bin Hajar Abu
Fadl al-Asqalani al-Syafii, “Tahzib al- Tahzib”, juz 4, hlm. 232
[7]
Lihat Software Gawami’ul
Kalim (nomer rawi : 18560) dan Tahzibul Kamal (nomer rawi : 2579)
[8] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadl
al-Asqalani al-Syafii, “Tahzib al- Tahzib”, juz 1, hlm. 355
[9]
Lihat Software Maktabah
Syamilah, “Ikmal at- Tahzib al- Kamal”, juz. 6, hlm. 110
[10]
Adz- Dzahaby, Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad, “al- Muqtana fi Sardi al- Kunyi” Tahqiq : Muhammad
Shalih Abdul ‘Aziz (Madinah : Muthoba’ah al- Jami’ah al- Islamiyyah : 1408) Juz
1, hlm. 356
[11]
Ar- Rib’I, Muhammad bin
Abdullah bin Ahmad bin Sulaiman bin Zabir “Mauludi al- ‘Ulama wa
Wafayatuhum” (Riyadh : Daar al- ‘Asimah: 1410) Cet. 1, Juz. 1, hlm. 227
[12]
Al- Ja’fiy, Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim Abu Abdullah al- Bukhari, “at- Tarikh al- Kabir” (Beirut :
Daar el- Fikr) Juz 4, hlm. 237
[13]
Lihat Software Gawami’ul
Kalim (nomer rawi : 19163) dan Tahzibul Kamal (nomer rawi : 2736)
[14]
Lihat Software Mausu’ah
Hadits asy- Syarif
[15]
Al- Baghdadi, Ahmad bin Ali
Abu Bakr al- Khatib “Tarikh Baghdad” (Beirut: Daar el- Kitab al-
Ilmiyyah) Juz. 9, hlm. 24
[16]
Al- Baghdadi, Ahmad bin Ali
Abu Bakr al- Khatib “Tarikh Baghdad” Juz. 9, hlm. 24
[17]
Lihat Software Gawami’ul Kalim
(nomer rawi : 18299) dan Tahzibul Kamal (nomer rawi : 2507)
[18]
Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal bin Hilal “Kitab Bahri ad- Dam” (Riyadh: Daar ar- Rayah : 1989)
Juz. 1, hlm. 186
[19]
Adz- Dzahaby, Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad, “al- Muqtana fi Sardi al- Kunyi” Tahqiq : Muhammad
Shalih Abdul ‘Aziz. Juz 2, hlm. 105
[20]
Lihat Software Mausu’ah al-
Hadits asy- Syarif
[21]
Lihat Software Gawami’ul
Kalim (nomer rawi : 38043) dan Tahzibul Kamal (nomer rawi : 5579)
[22]
Lihat Software Gawami’ul
Kalim (nomer rawi : 38043) dan Tahzibul Kamal (nomer rawi : 5579)
[23]
Lihat Software Mausu’ah al-
Hadits asy- Syarif dan Lihat Software Gawami’ul Kalim (nomer rawi : 38043) dan Tahzibul
Kamal (nomer rawi : 5579)
[24]
Ambara, Iqbal M, Teguh
Sutanto “Tokoh-tokoh Super Inspiratif Pewaris Nabi SAW” (Yogyakarta :
Sabil : 2012) hlm. 179
[25]
Ambara, Iqbal M, Teguh
Sutanto “Tokoh-tokoh Super Inspiratif Pewaris Nabi SAW” hlm. 179
[26]
Ambara, Iqbal M, Teguh
Sutanto “Tokoh-tokoh Super Inspiratif Pewaris Nabi SAW” hlm. 180
[27]
Lihat Software Lidwa
Pustaka “Kitab Sembilan Imam” Biografi Imam Ibnu Majah
[28]
Ambara, Iqbal M, Teguh
Sutanto “Tokoh-tokoh Super Inspiratif Pewaris Nabi SAW” hlm. 180
[29]
Lihat Software Lidwa
Pustaka “Kitab Sembilan Imam” Biografi Imam Ibnu Majah
[30]
Disalin dari riwayat Ibnu
Majah dalam Tarikh Ibnu Katsir 11: 66,67 diakses dari
http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/01/biografi-ibnu-majah.html pada jam
22.58 WIB
Sabtu, 30 November 2013
Jihad dalam Konteks Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Jihad dalam Konteks Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Patut dicatat bahwa dari 30 ayat al-Qur’an yang menyebut kata jihad dengan
segala derivasinya, terdapat 6 ayat yang tergolong makkiyah dan 24 ayat
yang tergolong madaniyah. Dengan kata lain, lebih banyak ayat jihad yang
turun di Madinah ketimbang di Mekkah, yaitu empat per lima dari ayat-ayat yang
menyebut kata jihad adalah dalam kategori madaniyah.
a. Fase
Makkiyah
Ada 6 ayat al-Qur’an yang memuat kata jihad dengan segala
derivasinya yang tergolong makkiyah.
Yang tergolong makkiyah, yaitu:
i. QS.
al-‘Ankabût [29]: 6
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ
لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Dan barangsiapa yang berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
ii. QS. al-‘Ankabût [29]: 8
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku
kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
iii. QS. Luqmân [31]: 15
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ
مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.
iv.
QS. al-Furqân [25]: 52
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Maka janganlah kamu mengikuti
orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan
jihad yang besar.
v.
QS. al-Nahl [16]: 110
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا
وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung)
bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka
berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
vi.
QS. al-‘Ankabût [29]: 69
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا
فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.
Ayat al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad telah
diturunkan sejak Nabi Muhammad saw bermukim di Mekkah. Atas dasar itu, perintah
jihad dalam ayat-ayat makkiyah tidak memiliki kaitan dengan peperangan
fisik, karena di kota kelahiran Nabi saw ini tidak pernah terjadi peperangan
yang melibatkan orang Islam dan orang kafir-musyrik Mekkah. Senada dengan itu,
Sa‘îd al-Asymâwî berpendapat bahwa jihad di Mekkah berarti berusaha untuk
selalu berada dalam jalan keimanan yang benar dan bersabar dalam menghadapi
penyiksaan kaum kafir. Dengan kata lain, jihad dalam periode ini bermakna
moral dan spiritual. Jihad pada konteks ayat-ayat makkiyah berbentuk
taat kepada Allah swt, bersabar, ajakan persuasif untuk menyembah Allah swt.
b. Fase
Madaniyah
Ayat al-Qur’an yang menyebut kata jihad dan segenap derivasinya dan
tergolong madaniyah berjumlah 24 ayat.
i.
QS.
al-Baqarah [2]: 218
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Langganan:
Postingan (Atom)