Selasa, 12 Juni 2012

--*ISRAILIYYAT*--


A.     Latar Belakang

Studi ulumul qur’an merupakan salah satu disiplin ilmu yang harus dikuasai untuk bisa mempelajari, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an. Di dalam studi ulumul qur’an sendiri terdapat beberapa bab yang salah satunya membahas tentang israiliyat. Sebagai salah satu bab yang ada dalam ulumul qur’an, maka israiliyat ini penting untuk dipelajari dan dipahami sebagai dasar dalam menafsirkan al-Qur’an.

Orang islam tidak meragukan bahwa al-qur’an merupakan kitab suci yang dijadikan petunjuk bagi seluruh umat dan diakui kebenarannya. Namun, tidak semua kaum muslim dapat secara langsung memahami al-Qur’an sebagai petunjuk. Untuk dapat memudahkan umat muslim memahami al-Qur’an yang langsung bersumber dari Allah maka diperlukan penafsiran dan penakwilan terhadap al-Qur’an, sehingga mudah dipahami dan dimengerti. Dalam hal ini, para ulama sangat berjasa atas karya dan usahanya untuk menafsirkan al-Qur’an. Penafsiran yang digunakan oleh mufassir adalah tafsir bil ma’sur dan tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ma’sur adalah tafsir yang bersumber dari nukilan-nukilan yang shahih dengan urutan yaitu tafsir al-Qur’an dngan al-Qur’an, al-Qur’an dengan Sunnah, perkataan sahabat karena mereka yang paling mengetahui Kitabullah, dan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in. Sedangkan tafsir bil ra’yi, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri dan didasarkan logika semata. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelemahan dalam tafsir bil ma’sur adalah masuknya unsur-unsur israiliyat.

Israiliyat masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an bukan tanpa sebab. Sebagaimana kita tahu bahwa sebelum Islam datang, kaum Yahudi dan Nasrani sudah berkuasa di Arab dan mereka memiliki ajaran keagamaan yang berakar kuat dalam ingatan dan hati mereka. Setelah Islam datang, banyak dari Ahli Kitab yaitu  Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Latar belakang keagamaan mereka sangat berpengaruh terhadap pemahaman al-Qur’an. Al-Qur’an dianggap sebagai penerus dari kitab-kitab sebelumnya yaitu Taurat dan Injil. Oleh karena itu, mereka dengan sengaja memasukkan cerita-cerita dan kisah-kisah yang terdapat dalam kitab semula ke dalam penafsiran al-Qur’an. Tujannya adalah agar lebih rinci dan detail, sebab kisah-kisah dalam al-Qur’an memang hanya dikemukakan secara singkat.

A.     Pengertian Israiliyat
Israiliyat secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata Israiliyah, isim (kata benda) yang dinisbatkan pada kata Israil, dari bahasa Ibrani. Sedangkan Israil adalah gelar bagi nabi Ya’kub as. Yang berarti Abdullah atau hamba Allah. Ini berarti bahwa keturunan Israil adalah keturunan nabi Ya’kub as. Keturunan beliau dikenal pula dengan sebutan Yahudi yang berasal dari kata Yahuda, yaitu salah satu suku dalam Bani Israil yang jumlah anggotanya paling banyak. Karena itu, Bani Israil identik dengan Yahudi, walau tidak semua orang Bani Israil termasuk suku Yahuda. Suku Yahuda sendiri merupakan keturunan dari Yahuda bin Ya’kub bin Ishak bin Ibrahim, salah satu dari dua belas putera nabi Ya’kub as. Sebagaimana  hadis riwayat Abu Daud dari Ibnu Abas : sekelompok orang Yahudi telah mendatangi Nabi, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kamu sekalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah nabi Ya’kub?” Lalu mereka menjawab, “Betul”. Kemudian Nabi berdo’a, “Wahai Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini.”

Secara terminologi, israiliyat mulanya menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi. Namun, pengertian tersebut berkembang di kalangan ahli tafsir dan ahli hadis. Ada yang mengatakan bahwa Israiliyat adalah seluruh riwayat yang bersumber dari orang Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab) serta selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir maupun hadis. Ulama lain memberikan definisi Israiliyat yaitu cerita yang bersumber dari musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani, ataupun lainnya. Sebagian ulama lagi mengartikan Israiliyat adalah segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau Nasrani, baik tertulis dalam Taurat maupun Injil, penafsiran-penafsirannya, maupun pendapat-pendapat orang Yahudi atau Nasrani yang menyangkut ajaran mereka. Semua yang berkaitan dengan penjelasan tambahan terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui ayat-ayat dalam perjanjian lama atau perjanjian baru dianggap sebagai Israiliyat.

Muhammad Husain Adz-Dzahabi, misalnya, membagi Israiliyat ke dalam dua macam. Pertama, Israiliyat sebagai kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali pada sumber Nasrani, Yahudi, atau lainnya. Kedua, kisah dan dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber lama. Kisah itu sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslim.

 Sedangkan Ahmad Khalil menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Israiliyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan oleh Ahli Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak. Sedangkan Amin Al Khuli berpendapat bahwa Israiliyat merupakan pembaharuan kisah-kisah dari agama dan kepercayan bukan Isam yang merembes masuk ke Jazirah Islam. Kisah-kisah tersebut dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sejak dahulu berkelana ke arah Timur menuju Babilonia dan sekitarnya, dan yang kea rah Barat menuju Mesir. Sekembalinya mereka, banyak berita keagamaan yang di kisahkan di Negara asal yang diambil dari Negara-negara yang mereka singgahi.

Dari definisi-definisi diatas dapat dipahami bahwa Israiliyat merupakan cerita-cerita atau dongeng-dongeng yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani yang dibawa oleh pendeta atau mu’allaf. Para ulama tampaknya sepakat jika Israiliyat bersumber dari Yahudi dan Nasrani dengan penekanan Yahudilah yang menjadi sumber utama sebagaimana tercermin pada kata Israiliyat itu sendiri. Meskipun Israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, bukan berarti kaum Nasrani tidak ambil bagian. Hanya saja Yahudi lebih dominan lantaran mereka lebih lama berinteraksi dengan umat Islam sejak dari nabi Hijrah ke Madinah. Selain itu, di kalangan mereka lebih banyak yang masuk Islam.

Di dalam al-Qur’an banyak ayat tentang Bani Israil yang dinisbahkan kepada Yahudi. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah : 78

لٌعن الذين كفروا من بني اسرا ئيل علي لسان داوود وعيس ابن مريم ذلك بما عصوا وكانوا يعتدون
Artinya :”Telah dilaknati orang-orang Kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”

Dalam ayat lain, al-Isra’ ayat 4 :

وقضينا الى بنى اسرائيل فى الكتاب لتفسدن فى الارض مرتين ولتعلن علوا كبيرا
Artinya : “ Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu : Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”
A.     Latar Belakang Munculnya Israiliyat
Israiliyat masuk ke dalam lingkungan bangsa Arab diperkirakan tahun 70 M, yaitu sebelum Islam datang. Pada saat itu orang-orang Ahli Kitab yaitu Yahudi telah melakukan migrasi ke Jazirah Arab untuk menghindari penyiksaan dan kebrutalan yang dilakukan kaisar Titus Romawi yang hendak menjajahnya dengan membakar dan menghancurkan Jerussalem. Mereka datang ke Jazirah Arab dengan membawa kebudayaan dan keyakinan agama yang bersumber dari kitab-kitab mereka. Selain itu, orang-orang Arab pra-Islampun sering melakukan perjalanan untuk berniaga ke negeri Yaman pada musim dingin dan ke negeri Syam pada musim panas. Di kedua kota inilah banyak berdiam para Ahli Kitab. Sehingga sangat memungkinkan terjadi interaksi dan komunikasi. Sebagai konsekuensi akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan tersebut, maka Israiliyat dan pengetahuan Yahudi merembes di tengah-tengah masyarakat bangsa Arab dan sebaliknya kaum Yahudi juga memperoleh pengetahuan dari orang-orang Arab. 

Interaksi dan komunikasi antara orang-orang Arab dengan kaum Yahudi terus berlanjut hingga Islam datang. Perkembngan Islam semakin pesat ketika nabi hijrah ke Madinah. Disanalah nabi dan pengikutnya diterima dengan baik oleh kaum Anshar. Di Madinah inilah banyak menetap kelompok Yahudi, seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraidzah, Bani Al Nadir, suku Khazraj, Khaibah, Fadak,suku Aus, dll. Antara umat Muslim dengan kaum Yahudi dapat hidup berdampingan, sehingga mereka bisa saling bertukar informasi mengenai berbagai masalah keagamaan ataupun masalah lainnya. Bahkan, orang-orang Yahudi sering bertanya kepada Rasulullah mengenai kebenaran beliau sebagai Nabi dan utusan Allah. Pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab Rasulullah dengan berbagai bukti sehingga meyakinkan mereka yang bertanya akan kebenaran Allah dan utusanNya. 

Ada beberapa pendapat lain yang menyatakan tentang masuknya Israiliyat dalam Islam :

1.      Semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka yang masuk Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut lebih dahulu, sehingga pemahamannya sering tercampur antara ajaran Islam dengan ajaran terdahulu. Disamping itu, bangsa Arab tidak banyak tahu perihal kitab-kitab terdahulu. Jika mereka ingin tahu tentang kejadian penciptaan alam atau kejadian penting lainnya yang tidak dijelaskan secara rinci di dalam al-Qur’an,  mereka bertanya kepada Ahli Kitab. 

2.      Adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi. Maka, muncullah kelompok mufassir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah Israiliyat tersebut dalam penafsiran mereka terhadap kisah yang ada dalam al-Qur’an. Akibatnya, tafsir itu penuh dengan kesimpangsiuran, bahkan mendekati khurafat dan tahayul.

3.      Adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, Wahab bin Munabih, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Para ulama saling berbeda pendapat dalam mempercayai Ahli Kitab tersebut. Pertentangan yang paling sengit adalah tentang Ka’ab Al Ahbar. Sedangkan Abdullah bin Salam adalah orang yang paling tinggi kedudukannya, sehingga imam Bukhori sering meriwayatkan hadisnya.

Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa pada mulanya Isra’iliyat masuk ke dalam tafsir ketika para sahabat ingin berargumentasi dengan sumber yang berasal dari Yahudi atau Nasrani mengenai kebenaran risalah Nabi SAW. Abdullah bin Umar meriwayatkan isi kitab Taurat hanya untuk menyatakan keterangan guna menentang Ahli Kitab tersebut. Dalam hal ini, para Ahli Kitab terkadang memaparkan rincian kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti kisah yang terdapat dalam kitab mereka. Sehingga para sahabat cukup berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan. Sesuai dengan pesan Rasulullah saw. :

Janganlah kamu membenarkan (berita-berita yang dibawa) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami….” (HR. Bukhari)

Para sahabat akan menerima rincian dari kisah-kisah Israiliyat dalam dialog dengan Ahli Kitab, sejauh tidak menyentuh masalah akidah dan hukum. Perincian kisah-ksah yang diterima, terkadang diceritakan juga oleh para sahabat. Karena menurut hemat mereka, hal tersebut diperkenankan oleh Rasulullah, seperti dalam sabdanya :
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil, karena yang demikian tidak dilarang. Tetapi barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari) 
Kisah Israiliyat semakin berkembang subur di kalangan Islam ketika masa tabi’in dan mencapai puncaknya pada masa tabi’it tabi’in. Pada masa tabi’in, sikap mufassir tidak sama terhadap sikap para sahabat dalam memperlakukan Israiliyat. Para sahabat tidak mengambil kisah-kisah dari Ahli Kitab kecuali dalam jumlah sedikit. Fungsi yang semula hanya sebagai pelengkap dari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berubah menjadi tafsir dan takwil dari kandungan al-Qur’an. Pada masa ini, timbul kecintaan yang luar biasa pada kisah Israiliyat. Mufassir tidak mengoreksi dulu kebenaran dari kisah Israiliyat tersebut. Mereka mengambil cerita Israiliyat sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an walaupun terkadang tidak dimengerti akal.
A.     Macam-Macam Israiliyat

Israiliyat ditinjau dari syari’at Islamiyah, dibagi menjadi tiga macam :

1)      Kisah Israiliyat yang benar isinya, sesuai dengan al-Qur’an dan hadis serta tidak bertentangan dengan keduanya. Contoh : Imam Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, dia mengatakan : “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rsulullah SAW, dia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman : ‘Akulah Raja’. Mendengar hal tersebut, tertawalah Rasulullah SAW sehingga tampak gigi-gigi gerahamnya karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau membaca firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 67 :

وما قدروا الله حق قدره والأرض جميعا قبضته يوم القيامة والسما وات مطويا ت بيمينه سبحا نه وتعالى عما يشركون

Artinya : “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”
 
2)      Kisah Israiliyat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis. Ini harus dijauhi dan tidak boleh diriwayatkan kecuali disertai dengan penjelasan mengenai kedustaannya. Contoh : Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir ra. Dia berkata : “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata : ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah surat al-Baqarah ayat 223 :


شئتم وقدموا لأنفسكم واتقوا الله واعلموا أنكم ملا قوه وبشر المؤمنين

Artinya :  Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

3)      Kisah Israiliyat yang tidak diketahui benar atau tidaknya karena tidak didukung oleh nash al-Qur’an dan Sunnah, namun tidak bertentangan dengan akal sehat.
Riwayat Israiliyyat jenis ini tidak haram dan tidak pula wajib untuk diriwayatkan dan juga tidak haram juga tidak wajib diyakini kebenarannya. Yang demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan keberadaannya, sesuai dengan hadis Nabi dari yang diriwayatkan oleh Bukhari yang sudah dijelaskan diatas.
Sedangkan Israiliyat ditinjau dari riwayat cerita atau benar dan tidaknya, maka Israiliyat dibagi menjadi dua, yaitu :

1)      Kisah yang benar (shahih), yaitu seperti apa yang dikemukakan oleh Ibnu Kasir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir tentang sifat-sifat Rasulullah saw sebagai keterangan dari surat al-Ahzab ayat 45-47.
2)      Kisah yang palsu (dha’if), seperti apa yang dinukil oleh Ibnu Kasir dalam tafsirnya dari Abu Hatim Ar-Razi tentang legenda gunung Qaf yang mengitari langit dan bumi yang dalam al-Qur’an terurai dalam surat Qaf.
Menurut kategori temanya, Israiliyat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1)      Israiliyat yang berkaitan dengan akidah
2)      Israiliyat yang berkaitan dengan hukum
3)      Israiliyat yang berhubungan dengan nasihat

A.     Pendapat Ulama Tentang Israiliyat
Ada empat pandangan para ulama mengenai sikap mereka terhadap kisah Israiliyat :

a)      Mereka sengaja memanfaatkan sebanyak mungkin kisah Israiliyat dengan menyebutkan sanadnya. Menurut pendapat mereka dengan mencantumkan sanadnya berarti tidak termasuk dalam larangan. Salah satu diantara mereka adalah Ibnu Jarir At-Thabari.

b)      Mereka sengaja memperbanyak tapi tanpa menyebutkan sanad, seperti Al-Baghawi. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tafsir Al-Baghawi merupakan ringkasan tafsir Sa’labi, hanya beliau tidak memasukkan hadis-hadis maudhu’ dan pendapat-pendapat bid’ah.Para ulama terbagi dalam empat kelompok mengenai sikap mereka terhadap kisah isra’iliyyat.

c)      Diantara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar. Contohnya Ibnu Kasir. 

d)      Ada yang sama sekali tidak menerima kisah Israiliyat dan tidak menganggapnya bagian dari tafsir al-Quran, yaitu Muhammad Rasyid Ridho.

A.     Pengaruh Israiliyat Dalam Tafsir
Menurut Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi  Israiliyat memiliki beberapa dampak negitif terhadap khazanah tafsir Al-Qur’an :
1.      Dapat merusak akidah kaum Muslimin karena ia mengandung unsur penyerupaan kepada Allah, peniadaan ‘ishmah para Nabi dan Rasul dari dosa, serta mengandung tuduhan buruk yang tidak pantas bagi seorang nabi.
2.      Merusak citra Islam, karena seolah-olah Islam itu agama yang penuh dengan khurafat dan mitos yang tidak ada sumbernya.
3.      Menghilangkan kepercayaan kepada ulama salaf, baik di kalangan sahabat maupun tabi’in.
4.      Memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.

A.     Contoh-Contoh Kisah Israiliyat
Salah satu ulama yang terpengaruh oleh kisah Israiliyat dalam menafsirkan al-qur’an adalah tafsir al-Ibriz karya K.H. Bisyri Musthofa. Contohnya adalah dalam penafsiran tentang penyembelihan sapi betina yang terdapat dalam surat al-Baqarah. Dalam kitab tafsirnya yang berbahasa Jawa, diceritakan sebagai berikut : “diceritakan, sapi kemudian disembelih, setelah itu bagian paha itu dipukulkan orang yang mati tersebut. Maka tiba-tiba mayat itu langsung hidup kembali lalu menceritakan bahwa yang membunuhnya adalah kerabatnya sendiri yang bernama fulan. Fulan inilah yang lapor kepada nabi Musa setelah ia membunuh……”
Potongan cerita diatas telah disisipi cerita Israiliyat karena dikatakan bahwa mayat tersebut dipukul dengan paha sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat al-Baidhowi yang mempengaruhi tafsirnya, yaitu : “Dikatakan dengan dua kakinya, ada juga yang menggunakan lidahnya, dengan paha kanan, dan dengan telinganya.”
Di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan bagian tubuh sapi, seperti dalam surat al-Baarah ayat 73 :

73. lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti[64].
[64] Menurut jumhur mufassirin ayat ini ada hubungannya dengan Peristiwa yang dilakukan oleh seorang dari Bani Israil. masing-masing mereka tuduh-menuduh tentang siapa yang melakukan pembunuhan itu. setelah mereka membawa persoalan itu kepada Musa a.s., Allah menyuruh mereka menyembelih seekor sapi betina agar orang yang terbunuh itu dapat hidup kembali dan menerangkan siapa yang membunuhnya setelah dipukul dengan sebahagian tubuh sapi itu.
Contoh lainnya yaitu tafsir tentang kisah Qobil dan Habil. Dalam tafsirnya, Bisyri Musthofa menjelaskan, “nabi Adam dan Hawa mempunyai 39 anak dengan 20 kali kehamilan, setiap kelahiran dua-dua kecuali nabi Syits yang lahir sendirian. Kelahiran pertama lahir Qabil dan Iqlima, yang kedua lahir Habil dan Labuda. Ketika anak-anaknya beranjak dewasa, nabi Adam membolehkan perkawinan antar saudara karena waktu itu belum ada manusia lain. Menikah antar saudara dibolehkn Allah asalkan tidak dalam satu kelahiran. Kemudian Qabil akan dinikahkan dengan Labuda, dan Habil dengan Iqlima. Namun Qabil menolak, ia ingin menikah dengan Iqlima karena Iqlima lebih cantik. Singkat cerita Iqlima menjadi perebutan antara Qabil dan Habil, yang akhirnya Habil dibunuh oleh abil. Diceritakan ketika nabi Adam wafat meninggalkan empat puluh ribu anak cucu.”
Di dalam tafsir al-Baidhowi yang menjadi rujukan tafsir Bisyri Musthofa, dikatakan bahwa Adam memerintahkan kepada Habil dan Qabil untuk berkurban kepada Allah. Barang siapa yang diterima, itulah yang berhak atas Iqlima. Seandainya kurban itu diterima, maka api putih dari langit membakarnya, dan akhirnya kurban Habillah yang diterima, sehingga semakin marahlah Qabil. Maka dari itu Qabil membunuh saudaranya.
Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 27 :

27. Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".

A.     Kesimpulan
Israiliyat adalah semua unsur yang berasal dari kisah Yahudi, Nasrani, atau lainnya  yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Israiliyat tanpa di sadari juga telah meresap ke dalam pemahaman kita mengenai kisah-kisah dalam al-Qur’an. Israiliyat kadang dijadikan penjelas oleh ulama satu dan oleh ulama  lain dijadikan tafsir. Perbedaan pendapat di kalangan mufassir terkadang terjadi pada hal-hal yang yang ada dasarnya tidak perlu diketahui.
            Perbedaan pendapat antara sebagian mufassir misalnya seperti penukilan mereka terhadap kisah Ashhab al-Kahfi. Mereka berbeda pendapat tentang nama-nama, warna anjing, dan jumlah mereka. Tentang hal ini Allah berfirman : “Katakanlah Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui bilangan mereka kecuali sedikit”(Al-Kahfi : 22). Perselisihan lain juga mengenai ukuran kapal nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak yatim yang dibunuh oleh Khidir, jenis kayu tongkat Musa, dll. yang semua itu tidak penting untuk diketahui karena al-Qur’an memang tidak menjelaskannya.
            Israiliyat sudah masuk di tengah-tengah bangsa Arab pada masa pra Islam yang dibawa oleh kaum Yahudi. Israiliyat tetap ada dan semakin berkembang hingga Islam datang di tanah Arab. Tidak hanya dari kaum Yahudi, kaum Nasrani dan yang lainnya pun turut andil dalam penyebaran Israiliyat. Apalagi ketika banyak dari Ahli Kitab yang masuk Islam. Pada masa Rasulullah, Israiliyat tidak banyak di gunakan oleh para sahabat karena segala ketidakpahaman tentang isi kandungan al-Qur’an bisa langsung ditanyakan kepada beliau. Namun, ada sebagian sahabat yang memasukkan Israiliyat ke dalam tafsir al-Qur’an sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
            Kisah Israiliyat mencapai puncaknya pada masa tabi’in. Pada masa ini kecintaan mereka terhadap Israiliyat sudah tinggi. Mufassir tidak lagi mengoreksi secara kritis kutipan cerita-cerita Israiliyat itu, padahal di dalamnya terdapat kebatilan dan ketidakbenaran. Karena itu, orang yang membaca kitab-kitab tafsir hendaknya meninggalkan apa yang tidak berguna dan tidak mengutip kembali kecuali jika Israiliyat tersebut terbukti keshahihanya dari sisi riwayat dan isinya.
Perbedaan pendapat para ulama mengenai Israiliyat membawa akibat disusunnya pembagian atau pengkategorian Israiliyat. Pembagian macam-macam Israiliyatpun menuai perbedaan dari beberapa karya yang kami dapatkan dalam membahas Israiliyat. Inti penting dari pembagian macam-macamIsrailiyat itu adalah agar para mufassir sesudahnya bisa lebih selektif dan bersikap kritis terhadap Israiliyat. Selain itu, bagi umat Muslim agar tidak begitu saja mempercayai kisah-kisah yang tidak bersumber pada nash-nash yang shahih dan menghindari kisah-kisah yang tidak masuk akal. Adanya Israiliyat membawa pengaruh terhadap penafsiran al-Qur’an. Jika pengaruhnya baik tentu tidak menjadi masalah, tetapi yang menjadi permasalahan adanya  Israiliyat mampu membawa dampak negative terhadap khazanah tafsir al-Qur’an.
Tidak semua cerita Israiliyat itu salah, sebagaiamana kita tidak boleh membenarkan seluruh kisah Israiliyat. Jika kita ragu akan suatu hal dan belum menemukan kebenaran dari kisah-kisah dalam al-Qur’an,  maka cukup kita serahkan kepada Allah dan RasulNya. Selain itu juga harus dicarikan langkah-langkah alternatif jika hendak menafsirkan al-Qur’an. Salah satunya bisa dengan menyeleksi kitab-kitab tafsir dari pengaruh Israiliyat yang berbahaya. Karena kita sebagai umat masa sekarang mengetahui cerita-cerita itu dari orang ke orang dan dari buku ke buku, tidak mengetahui aslinya kecuali yang memang sudah jelas ada dalam al-Qur’an dan Hadis nabi.

 
A.     Daftar Pustaka
-         Chirzin, M.Ag., Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. 1998. Yogyakarta : PT  Dana Bhakti Prima Yasa
-         Al-Qaththan, Manna’, terj.Mifdhol Abdurrahman. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. 2011. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
-         Skripsi Achmad Syaefudin. “Kisah-Kisah Isra’iliyyat dalam Tafsir Al-Ibriz Karya K.H. Bisyri Musthofa”. 2003. Fak Ushuluddin
-         Ash-Shabunie, Moh. Ali. Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. 1390 H. Al-Ikhlas


  Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…




1 komentar:

  1. boleh saya tahu anda ambil rujukan dari mana? saya berminat nak kaji lebih mendalam

    BalasHapus