Selasa, 12 Juni 2012

Riba & Bunga Bank


  1. DEFENISI RIBA
Akar kata riba adalah rangkaian huruf, ra’, ba’ dan huruf ‘illah. Secara etimilogi, riba berarti, ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh). Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang seakar dengan kata riba. Meskipun masing-masing kata mempunyai pengertian tehnis yang berbeda, tetapi terdapat unsur kesamaan, yaitu tambah/lebih, tumbuh dan subur.
Riba adalah Akad yang terjadi  atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’ , ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah  pihak  atau  salah satu keduanya.
 Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam
empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn
Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Secara etimologis riba berarti tambahan..dan yang dimaksud disini adalah tambahan pada pokok harta.baik sedikit maupun banyak. Allah swt berfirman:
            Tetapi jika kamu bertobat,maka kamu berhak atas pokok hartamu.kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak di dzolimi.(dirugikan).” ( al-baqarah;279 )

   MACAM MACAM RIBA
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

• Riba Qardh : Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).

• Riba Jahiliyyah : Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

• Riba Fadhl : Tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara tunai.[1]

• Riba Nasi’ah : Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Dengan pendekatan sosial ekonomi dapat diketahui bahwa riba, mempunyai karakter sebagai berikut:
·        Riba merupakan kegiatan ekonomi yang menyimpang dari azas kemanusiaan dan keadilan. Dalam sejarah terbentuknya Hukum Islam di masa Rasul, pelarangan riba termasuk dalam sub sistem tata ekonomi yang dikehendaki Islam yang berpijak pada kemanusiaan dan keadilan.
·        Fenomena praktek riba membawa gambaran bahwa pada umumnya riba menghadapkan orang kaya dengan orang miskin, kendati terdapat juga antar orang kaya, namun, dengan kasus yang sedikit.
Dari fenomena itu diketahui bahwa riba merupakan senjata efektif untuk mengembangkan kemiskinan dan penindasan orang kaya atas orang lemah. Riba merupakan perjanjian berat sebelah, secara psikologis telah memaksa satu pihak menerima perjanjian yang sebenarnya tidak didasari kerelaan.

A.     SEBAB-SEBAB HARAMNYA RIBA
Sebab-sebab riba diharamkan ada banyak. Berikut ini rincian sebab-sebab tersebut.
a.       Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya,
Firman Allah :
š
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ( Al Baqarah 275)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. ( Ali Imran 130 )

Rasulullah Saw bersabda :
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ يَعْنِي ابْنَ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلَائِكَةِ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya dosa perbuatan tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh enam kali zina.” ( Riwayat Ahmad). 

Dan dalam sabda Rasullah Saw :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الْمَدَنِيِّ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” para sahabat berkata.” Apa tujuh hal tersebut ya Rasullah ? Rasullah saw bersabda,”syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri saat perang, dan menuduh berzina  wanita yang suci beriman dan lupa.” (Muttafaq Alaih)

b.      Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya.
c.       Dengan melakukan riba, seseorang menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada orang tersebut, maka ia lebih suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada dagang dan dikerjakan dengan tidak susah payah.
d.      Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang piutang atau menghilangkan faedah utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.

     DAMPAK RIBA

a. Dampak Negatif Bagi Individu
·        Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
·        Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا        
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 161)
·         Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka.
·         Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
·         Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279). Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya.
·        Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ . وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran: 130-132)
·         Pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah:275)

b. Dampak Negatif Bagi Masyarakat dan Perekonomian
·         Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan.
·         Riba menimbulkan over produksi . Riba membuat daya beli sebagian masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.
·         Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang miskin, tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong menolong dan membantu sesama manusia kecuali ada keinginan tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan. Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi di setiap saat.
·         Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).
·         Memakan riba merupakan sebab yang akan menghalangi suatu masyarakat dari berbagai kebaikan. Allah ta’ala berfirman,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا . وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 160-161)
·        Maraknya praktek riba sekaligus menunjukkan rendahnya rasa simpatik antara sesama muslim, sehingga seorang muslim yang sedang kesulitan dan membutuhkan lebih “rela” pergi ke lembaga keuangan ribawi karena sulit menemukan saudara seiman yang dapat membantunya.
Maraknya praktek riba juga menunjukkan semakin tingginya gaya hidup konsumtif dan kapitalis di kalangan kaum muslimin, mengingat tidak sedikit kaum muslimin yang terjerat dengan hutang ribawi disebabkan menuruti hawa nafsu mereka untuk mendapatkan kebutuhan yang tidak mendesak.


  DEFINISI BANK
Bank berasal dari kata banko (bahasa Italia) sebagai simbol penukaran uang di Italia. Artinya Meja. Dulu para penukar uang melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan. Aktivitas penukaran uang di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi dalam menelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan.[2]
Fuad Mohd. Fachruddin berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bank menurut istilah adalah suatu perusahaan yang memperdagangkan utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain.
Masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bank non-Islam (conventional bank) adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya gun investasi (penanaman modal) dalam usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga.
Dalam perekonomian modern, bank adalah lembaga perantara dan penyalur antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan dana. Peran ini disebut Financial Intermediary. Dengan kata lain, pada dasarnya tugas bank adalah menerima simpanan dan memberi pinjaman. Dengan begitu bank berperan melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran serta memberi perlindungan keamanan uang dari berbagai gangguan, seperti perampokan.

  SEJARAH PENDIRIAN BANK
Bank merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir membawa perhiasan dan yang lain-lainnya dari satu tempat ke tempat lainnya karena di pelabuhan dan tempat-tempat lain terdapat banyak pencuri. Maka, bank merupakan alternatif yang tepat untuk menitipkan barang-barang yang berharga, karena bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan aman. Dengan demikian berdirilah bank-bank dengan caranya masing-masing. Bank memberi jaminan kepada penyimpanan dan penyimpan dapat pula menggunakan simpanannya dengan mempergunakan cek, wesel, dan surat-surat lainnya.
Bank pertama berdiri di Venesia dan Genoa di Italia, kira-kira abad ke 14. Kota-kota tersebut dikenal dengan kota perdagangan. Dari kedua kota ini berpindahlah system bank ke Eropa Barat. Di Inggris didirikan Bank of England pada tahun 1696.[3]


    DEFINISI BUNGA BANK
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang definisi bunga bank:
M. SYAFI'I ANTONIO mengatakan bahwa Bunga bank adalah kompensasi yang wajar diberikan pada nasabah agar yang bersangkutan tidak dirugikan. Bunga bank adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
KHOE YAU TUNG mengatakan bahwa Bunga bank adalah besarnya jasa imbalan yang diberikan oleh lembaga keuangan (bank).
FACHMI BASYAIB mengatakan bahwa Bunga adalah sesuatu yang dihasilkan dari keuntungan aset keuangan, tujuannya adalah untuk memberikan pada investor keuntungan bagi investasi dana yang dimilikinya.
Ada Beberapa istilah dalam penerapan bunga bank, secara sederhana dijelaskan sebagai berikut:
·        Flat : artinya bunga pinjaman sama selama masa pinjaman dan dihitung dari pokok pinjaman awal
·        Efektif : artinya bunga pinjaman dihitung dari sisa pokok pinjaman setelah dikurangi angsuran
·        Floating : artinya bunganya mengikuti suku bunga yang sedang berlaku
·        Fixed : artinya bunga pinjaman tetap selama masa tertentu bahkan selama masa kredit

    PERBEDAAN KONSEP BANK KONVENSIONAL & BANK SYARIAH

1. Dari segi falsafah, bank syariah tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan gharar (ketidakjelasan). Sementara, bank konvensional berdasarkan bunga.
2. Dari segi operasional, dana masyarakat dalam bank syariah berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu. Sementara, pada bank konvensional dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo. Selain penyaluran bank syariak pada usaha yang halal dan menguntungkan. Sementara, penyaluran pada bank konvensional tidak mempertimbangkan unsur kehalalan.
3. Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sementara dalam bank konvensional, tidak.
Perbedaan bunga (dalam bank konvensional) dan bagi hasil (dalam bank syariah) :
1. Penentuan bunga ditetapkan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Sementara, besarnya rasio bagi hasil ditentukan pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
2. Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang/modal yang dipinjamkan. Sementara, rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh.
3. Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tidak peduli apakah proyek yang dijalankan nasabah untung atau rugi. Sementara, dalam bagi hasil untung dan rugi ditanggung bersama.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat/keadaan ekonomi sedang boming. Sementara jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
5. Eksistensi bunga diragukan atau bahkan dikecam oleh umat Islam. Sementara, tidak ada yang meragukan bagi hasil.

    PENDAPAT ULAMA TENTANG BUNGA BANK
Pada garis besarnya para ulama terbagi menjadi tiga bagian dalam menghadapi masalah bunga perbankan ini, yaitu kelompok yang mengharamkan, kelompok yang menganggap syubhat, dan kelompok yang menganggap halal (boleh).
Menurut Muhammad Netajullah Shiddiqi salah satu yang mengharamkan bunga adalah sebagai berikut :
a.       Bunga bersifat menindas yang menyangkut pemerasan.
b.      Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin kepada orang kaya yang kemudian dapat menciptakan ketidakseimbangan kekayaan.
c.       Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa salah satu yang menganggap ini syubhat berpendapat sebagai berikut :
a.       Sistem perbankan yang berlaku hingga kini dapat diterima sebagai suatu penyimpangan yang bersifat sementara.
b.      Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktik riba dikalangan Arab jahiliyyah, yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin dalam utang-piutang yang bersifat konsumtif, bukan yang bersifat prodiktif.
c.       Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan Negara yang akan menghilangkan eksploitasi.
Menurut A. Hasan salah satu yang menghalalkan, ia berpendapat sebagai berikut :
  
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda. (Ali Imran)
Jadi yang termasuk riba menurut beliau adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oeh agama Islam.
 Simpulan
Salah satu tema kemanusiaan yang dicanangkan dalam Al-Qur’an adalah pelarangan riba. Riba termasuk “sub sistem” ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Berdasarkan informasi dapat diketahui bahwa praktek riba merupakan sarana efektif penumpukan harta oleh orang kaya dan memperlemah kesanggupan orang miskin memperbaiki ekonomi mereka. Ketidakadilan terwujud dalam praktek riba. Dengan demikian, pelarangan riba tidak terlepas dari latar belakang struktur ekonomi semacam ini.
Ketika orang Islam mulai melakukan kontak dengan peradaban barat, dimana perbankan bagian dari peradaban mereka dalam aspek ekonomi, lambat laun banyak orang Islam merasakan besarnya peranan lembaga perbankan dalam tata ekonomi modern. Yang mengganjal dibenak mereka adalah bank menempuh sistem bunga. Sedangkan formula bunga bank sejalan dengan riba, sebagaimana yang dilarang Al-Qur’an dan al-Hadits.
Untuk menghindari riba ini, kemudian sebagian orang Islam mendirikan bank tanpa bunga yang disebut Bank Islam (Bank Syariah). Seperti halnya Bank Konvensional, Bank Islam mengarahkan perhatian pada “kerjasama dan bagi hasil” yang dituangkan dalam bentuk profit and loss sharing (untung dan rugi dirasakan bersama) dan ini diterapkan untuk simpan pinjam yang disalurkan untuk usaha produktif. Tetapi dalam hal tertentu, bank Islam boleh menjanjikan pemberian keuntungan kepada penyimpan daripada suku bunga yang berlaku di bank pada umumnya.

  Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…




[1] Fuad Mohd Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, & Asuransi, Hal. 105-106



[2] Muh. Zuhri, RIBA Dalam Alquran dan Masalah Perbankan, Hal. 143




[3] Abdul Azis Muhammad Azzam, FIQH MUAMALAT Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, Hal. 218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar