- PENGERTIAN
Majaz
menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah lafadz yang digunakan tidak pada
mestinya dalam terminologi percakapan, dengan adanya Alaqah[1] dan Qorinah[2] yang
mencegah terhdap makna asli[3].
Jadi yang harus kita garis bawahi disini adalah adanya pemalingan dari makna
asli.
Ilmu
yang menjelaskan tentang ungkapan kata dalam redaksi hadits yang tidak dimaknai
sebagaimana makna aslinya, karena adanya qorinah bahasa (Lafdziyyah
ataupun Haaliyah) yang mengharuskan hal tersebut.[4]
Dalam
ilmu balaghah sendiri dibedakan antara kinyah dan majaz, tapi ketika memasukkan
pembahasan majaz terhadap ilmu hadits disini disamakan. Majaz disini meliputi
majaz lughawi, aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lain yang tidak
menunjukkan makna sebenarnya secara langsung atau yang dipalingkan terhadap
makna asli, tetapi dapat dipahami dengan alaqah dan qarinah .
Jadi, sebagai standard disini, suatu lafadz itu bisa dikatakan sebagai majaz ketika
ada Alaqah yang melarang terhadap pemaknaan hakiki
dan Qarinah yang mnyertainya.
Rasulullah
SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling
menguasai balaghah . Sabda-sabda beliau merupakan bagian dari
wahyu. Maka kita pasti akan banyak menemukan majaz dalam hadis yang beliau
sampaikan. Karena dengan menggunakan majaz pastilah orang lebih terkesan dengan
apa yang beliau utarakan serta hal itu lebih baligh atau lebih dapat sampai
kepada penerima hadits.
- Urgensi,
Metode, dan Obyek Studi Majaz al – Hadits
Urgensi
dari kajian majaz ini ada dalam beberapa hal[5]
:
- Memberikan
pemahaman yang benar terhadap makna majaz yang digunakan oleh nabi dalam
haditsnya. Dengan mempelajari majaz, akan membuka cakrawala kita tentang
makna yang lebih tepat dari sebuah hadits.
- Menjauhkan
kita terhadap penta’wilan yang berlebihan terhadap hadits-hadits yang
menggunakan majaz. Dengan mengetahui syarat yang ada dalam menggunakan
majaz akan menghilangkan penta’wilan kita yang terlalu berlebihan yang
sampai membuat pemahaman yang melenceng dari apa yang dimaksutkan teks
hadits.
- Menjauhkan
dari pemahaman yang dipaksakan terhadap makna yang dipakai harfiah,
sedangkan sebenarnya suatu hadits tersebut menggunakan majaz. Hal ini akan
menyebabkan kesulitan dalam memahami suatu teks hadits.
- Membedakan
antara mana yang merupakan majaz dan yang hakiki.
Metode
Dalam
buku Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, kita bisa simpulkan bagaimana yusuf
Qardawi menggunakan metode ta’wil dalam memahami majaz hadits. Adapun
langkah-langkahnya adalah:
Pertama, beliau
mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an.
Kedua, dengan
mengaitkan dengan hadis-hadis setema.
Ketiga,mengambil
dari pendapat ulama',
Keempat, pendekatan
logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at
yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan.
Kemudian qarinah (indikator)
yang digunakan adalah qarinah lafziyyah (indikator dalam teks) dan
ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar
teks). Hal ini karena Yusuf al-Qaradawi dalam memaknai teks selalu berangkat
dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
Obyek
Obyek
kajian dalam majaz menurut kami adalah matan hadits yang maknanya dipalingkan
dari makna aslinya. Hal ni secara garis besar, sedangkan lebih detailnya pada
lafadz yang dipalingkan atau lafadz yang tidak semestinya(tidak biasa)
digunakan pada kalimat matan hadits.
C.
Sebab – sebab terjadinya Majaz al- Hadits
Terdapat beberapa
pendapat ulama mengenai sebab terjadinya pengalihan makna haqiqi ke makna
majazi.[6]
Pertama,
menurut Abu al-Fath ‘Usman Ibn Jinni, bahwa terdapat tiga alasan mengalihkan
makna haqiqi ke makna majazi yaitu, Ittisa’ (perluasan makna), ta’kid
(penguatan makna), dan tasybih (keserupaan makna).
Kedua,
menurut ahli bahasa, yang menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan
makna haqiqi ke makna majazi. Sebab – sebab tersebut antara lain:
- Jika
diungkapkan dengan ungkapan haqiqi terasa berat, karena mengandung
konotasi yang terlalu berlebihan, sehingga perlu digunakan kata-kata yang
lebih ringan untuk diucapkan.
- Penggunaan
ungkapan haqiqi mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
- Penggunaan
majaz adalah merupakan sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah
lafaz dan maknanya, yang tidak dapat diungkapkan dalam bentuk haqiqi.
- Penggunaan
ungkapan majazi adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara karena
sangat agung kedudukannya.
Ketiga,
menurut Ibrahim Anis menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain:
Penjelasan
makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasan makna yang abstrak
menjadi makna dalam bentuk yang kongkrit, sehingga orang yang mendengarkannya
mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dengan bentuk majaz.
Penggunaan
majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang,
semakin berkembang intelektual manusia maka hal – hal yang masih bersifat
abstrak tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut
adanya perluasan makna.
D. Kitab-kitab yang
berkaitan dengan Majaz al-Hadits
·
Al-Majazat
al-Nabawiyyah karya as-Syarif ar-Rida.
·
Kaifa Nata’amal ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyah Ma’alim wa Dhawabith karya Yusuf
al-Qardhawi.
E. Contoh Majaz al-Hadits
Shahih Bukhori : 1076[7]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنَا
مَنْصُورٌ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقِيلَ مَا
زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ
Artinya : “Telah menceritakan kepada
kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash berkata,
telah menceritakan kepada kami Manshur dari Abu Wa'il dari 'Abdullah
radliallahu 'anhu berkata: Diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tentang seseorang yang dia terus tertidur sampai pagi hari hingga tidak
mengerjakan shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Syaitan telah mengencingi orang itu pada telinganya". (HR. Bukhori)
Kata بَالَ oleh orang-orang
Arab digunakan untuk ditujukan kepada orang yang telah tampak pelanggarannya
dan jelas kelemahannya. Adapun kata بَالَ ini
pada asalnya diambil dari kata الافساد (kerusakan). Jika dimasukkan pada hadits diatas berarti
maksud Rasulullah didalam hadits diatas yaitu sungguh setan telah berhasil
merusak pendengaran dan memutus hubungan pemuda dengan tuhannya mengenai
ketaatan dan shalat pada waktunya.
Maksud بَالَ الشَّيْطَانُ dalam
hadits diatas adalah setan telah berhasil merobohkan dan merusak pendengaran
seorang pemuda, dalam arti lain setan benar-benar merusak pendengarannya dan
memutus hubungan pemuda tersebut dengan tuhannya karena setan telah
menguasai dirinya sehingga dia berhasil mencegah pemuda tersebut untuk
melakukan shalat shubuh.[8]
Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…
[1]
Yang dimaksud dengan alaqah
dalam kitab jawahirul balaghah adalah
kesesuaian antara makna hakiki dan makna makna majaz.
[2]
Yang dimaksud dengan qarinah
disini adalah suatu perkara yang dijadikan sebagai dalil bahwa yang dimaksudkan
bukan yang sebenarnya..
[3] Al-Hasimi Ahmad, Jawahirul Balaghah .(Surabaya:
Hidayah) hal 290
[4] Dr. Nurun Najwah, Hand Out
Ulumul Hadits III
[5]
Fairus Khalili, Majaz Ilmu Hadits, diakses pada tanggal 18 Maret 2013, dikutip
dari http://agamaislam7.blogspot.com/2012/01/majaz-ilmu-hadits.html
[6]
Dikutip dari skripsi M.
Syafi’i “Pemahaman Yusuf Al- Qardhawi terhadap buku “Kaifa Nata’amal ma’a
As- Sunnah An- Nabawiyah ma’ alim wa dhawabit” Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga tahun 2009
[7]
Software Lidwa Pusaka “Kitab
9 Imam”
[8]
Al- Syarif Ar- Ridha, al-majazat an-nabawiyyah, (Mesir: Muassasah al- Halaby)
hal 102 dikutip dari http://16tholib.blogspot.com/2012/03/aplikasi-majaz-dalam-hadits-studi.html
diakses pada 16 Maret 2013
pal pale pal pal pela
BalasHapusjegreg
BalasHapus