" IGNAZ GOLDZIHER"
A.
Latar belakang Masalah
Pada zaman keemasan Islam, para intelektual muslim telah mengadakan
proses transfer ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Pada saat itu, proses
intelektual berjalan dengan lancar yang didukung oleh pemerintah Islam,
sehingga melahirkan sarana intelektual seperti sekolah, perguruan tinggi dan
perpustakaan. Hal ini menjadikan Islam maju di bidang peradaban. Di bidang
sains, seperti kedokteran, matematika, astronomi, dan lain-lain seperti
filsafat yang kemudian melahirkan keahlian dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan (Nasution, 1995:39-40).
Pada abad ke-13, kemajuan
peradaban umat Islam mendapat perhatian oleh orang-orang Barat, sehingga mereka berdatangan ke dunia Islam
untuk belajar sains, baru kemudian mereka kembangkan. Pada abad ke kesembilan
belas, dimana dunia Islam sudah mengalami kemunduran, orang-orang Barat datang
lagi ke dunia Islam yang kedua kalinya
dengan membawa sains dan teknologi yang pernah mereka pelajari di dunia Islam
pada abad ketiga belas setelah mereka kembangkan selama enam abad (Nasution,
1995:39-40).
Meskipun dunia Islam mengalami
kemunduran dan Barat mengalami kemajuan, tetapi dunia Islam pada saat
itu, masih menyimpan khasanah peradaban. Hal ini menjadikan orang-orang Barat
yang memiliki sains dan teknologi tertarik untuk mengembangkan keahliannya
dalam meneliti dan mengenali kembali dunia Islam, sehingga lahirlah orang Barat
yang ahli di bidang ketimuran yang disebut dengan Orientalis.[1]
Dalam perkembangannya orientalisme
banyak yang mengecam karena Orientalisme memiliki tujuan untuk mengkolonialisasi bangsa
Timur [Edward Said,Orientalism], adalah Orientalis pada sekitaran abad X (sejak dimulainya
perang salib) yang tidak memiliki keselarasan langkah antara Orientalis
satu dengan yang lain dan banyak mendapat dukungan dari gereja,
memiliki kecenderungan untuk mencari-cari kekurangan dalam ajaran Islam untuk
memelihara kepercayaan kaum Kristen, dan
pada abad tersebut karya Orientalis memuat sisi negatif dari ajaran Islam dan
Rasulullah dengan tanpa memberikan argumentasi kuat dan bukti historis[Ihsan
Ali Fauzi;Maxim Rodinson]. Namun terpisah dari abad dimana para Orientalis
“memusuhi” Islam, adapula Orientalis yang sangat konsen dan Obyektif dalam mengkaji
Islam serta memberikan sumbangan yang berguna untuk memperluas khazanah
keilmuan muslim dalam kajian agama Islam. Salah satu yang ingin penulis bahas
dalam makalah ini yakni Ignaz Goldziher (1850) yang merupakan salah satu Orientalis
ahli dalam kajian Islam. Ia salah satu Orientalis yang sangat terkenal dalam kajian Hadits
dan selalu menjadi rujukan utama peneliti Muslim untuk mengetahui pandangan Orientalis
terhadap Hadits.
Beberapa karya Goldziher sangat
bermanfaat dan selalu menjadi rujukan untuk menbandingkan hasil kajiannya yang
ia capai setelah banyak berkecimpung dalam pengkajian Islam. Dan makalah ini
setidaknya ingin mencoba membahas Ignaz Goldziher dengan pemikirannya dalam
kajian Islam secara sangat sederhana ini, karena keterbatasan kemampuan penulis karena minimnya pengetahuan
dan kecakapan dalam memahami atau mengkritisi Ilmu dan tokoh tersebut.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dan mengarahkan penulis agar terfokus dalam
membahas makalah ini, maka penulis membuat rumusan masalah sebagaimana berikut
:
1.
Apa sajakah Obyek Material dan Formal Ignaz Goldziher dalam kajian
Islamnya ?
2.
Bagaimanakah pokok-pokok pikiran Ignaz Goldziher dalam kajian
tersebut ?
PEMBAHASAN
A.
Biografi Tokoh
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria.
Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi
tidak sepserti keluarga Yahudi eropa yang sangat fanatik saat itu. Pendidikannya
dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1896, hanya
satu tahun dia di sana, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru
besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas tersebut adalah Fleisser,
sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di
bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870
dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad
Tengah”.
Kemudian Ignaz Goldziher kembali ke Budhapes dan ditunjuk sebagai
asisten guru besar di Universitas Budaphes pada tahun 1872, namun dia tidak
lama mengajar. Sebab dia diutus oleh kementrian ilmu pengetahuan ke luar negeri
untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia ditugasi
untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di Kairo Mesir, lalu
dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat
bertukar kajian di Universitas al-Azhar.
Ketika diangkat sebagai pemimpin Universitas Budaphes, dia sangat
menenkankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang
dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena
itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian
menjadi anggota Badan Pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari
bagian yang dibentuknyapada tahun 1907.
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit,
sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes,
kecuali mengadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar
di berbagai Universitas asing yang mengundangnya. Goldziher meninggal dunia
pada 13 November 1921 di Budaphes.
Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berusia 16 tahun
ketika dia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia telah
sanggup menerjemahkan dua buah kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria,
yang dimuat dalam majalah. Sejak tahun 1866, ketika usia Goldziher mencapai 16
tahun, ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi ulasan dan
kritik-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan
mencapaui 592 kajian. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah Azh-Zhahiriyyah:
Madzhabuhum wa Tarikhuhum, yang dikerjakan pada tahun 1884. Sekalipun jika
ditilik dari judul yang dibahasnya hanya berhubungan dengan madzhab Zhahiriah,
tetapi pada kenyataannya sebuah pengantar yang cukup bagus memasuki kajian
fiqh. Ia tidak membatasi kajiannya hanya pada aliran Zahiriah saja, tetapi juga
ushul fiqh yang dikajinnya secaradetil dan disertai dengan argumen-argumen
mendasar yang melatarbelakangi timbulnya madzhab-madzhab dalam fiqh. Demikian
pula tentang ijma’ dan tokoh-tokoh tiap madzhab. Dikaji juga tentang korelasi
antara madzhab Zhahiriah dengan madzhab lainnya. Sehingga kajiannya merupakan
pengantar ke dalam kajian ushul fiqh dan fishnya secara holistik. Selain itu,
dibicarakan juga tentang pertumbuhan dan perkembangan madzhab Zhahiriah dalam
kaitannya dengan masalah-masalah teologi sejak Ibn Hazm sampai dengan Ibn Taymiyyah
dan al-Maqrizi. Dalam kajian ini, Goldziher merujuk pada sumber-sumber utama
dalam setiap pembahasannya.
Lima tahun kemudian, Goldziher menulis karangan besar yang
bertalian dengan kajian dengan judul Dirasat Islamiyyat, juz pertama
terbit tahun 1889, sedangkan juz kedua terbit pada tahun berikutnya. Pada juz
pertama Goldziher membahas tentang al-Watsaniyah wa al-Islam, di mana ia
memakai pendekatan baru dalam mengkaji masalah ini. Goldziher tidak menggunakan
metode yang umumnya dipakai oleh para orientalis saat itu, seperti Wilhawzen.
Menurut Goldziher pergulatan yang terjadi pada masa Arab Jahiliah melawan
semangat Islam ternyata tidak terbatas hanya pada kalangan bangsa Arab saja,
tetapi juga terjadi pada seluruh bangsa yang lahirnya masuk Islam. Goldziher
menjelaskan bagaimana proses terjadinya pengislaman dan nilai-nilai Islam yang
menjadi unggulan atas tradisi Jahiliah. Islam unggul dalam ketinggian moralnya,
seperti memuliakan darah bangsa Arab. Islam menyeru pada persamaan hak, tidak
ada perbedaan derajat antara manusia, Islam juga menolak ketinggian seseorang
dikarenakan nasabnya. Semua tergambar dari pondasi bahwa tidak ada keutamaan
bangsa Arab atas non-Arab kecuali takwanya.
Pada juz kedua dari karyanya inilah yang perlu diwaspadai karena karya
ini sangat penting dan mengandung unsur pemebelokan yang sangat berbahaya. Pada
bagian pertama bahasannya tentang hadits, Goldziher memaparkan sejarah dan
perkembangan hadits serta mengungkapkan urgensi hadits bukan dalam arti yang
sebenarnya menurut Islam. Menurutnya, hadits merupakan sumber utama untuk
mengetahui perbincangan politik, keagamaan, dan mistisme dalam Islam.
Masalah-masalah ini terjadi sepanjang masa. Hadits dipakai sebagai senjata oleh
masing-masing madzhab. Baik kelompok politik maupunpaham fiqh berupaya
menggunakan hadits sebagai alat untuk menguasai persoalan kehidupan di tengah
umat Islam. Jadi, hadits tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku
nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompok aliran, baik politik maupun
keagamaan. Pada bagian lain dari juz kedua, Godziher membahas tentang
pengkultusan wali dikalangan umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan
dengannya. Misalnya korelasi pengkultusan yang terjadi dalam Islam dan
pengkultusan pada masa Jahiliah. Ia membagi pengkultusan wali menurut
lokasi-lokasinya yang tersebar di dunia Islam.
Goldziher sangat mahir dan konsen terhadap permasalahan seputar agama
terutama Islam. Ia banyak pula menulis dan menciptakan beberapa karya yang ada
dalam bentuk artikel ataupun buku-buku. Beberapa buku dan artikel yang pernah
dibuatnya adalah:
-
Islam dan Agama Persia (1900) ; artikelnya yang membahas tentang pengaruh agama
terhadap kekuasaan
-
Al-Mu’ammarin (1899)
; dalam buku ini Goldziher menyinggung beberapa buku yang berbahasa Yunani,
seperti buku Lucian dan Phlegon aus Tralles
-
Menulis pendahuluan dalam buku Tauhid-nya Muhammad ibn
Tumart al-Mahdi al-Muwahhidun (Lucian, 1903)
-
al-Mustadhhari (Leiden,
1916) ; menulis beberapa bagian dari buku
tersebut yang berisi penolakan terhadap ajaran kebatinan al-Ghazali
-
Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910)
-
Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin (Leiden, 1920)
Muhadharat fi al-Islam merupakan salah satu karya monumentalnya yang membahas penilaian
umumnya tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Yakni, Muhammad dan
Islam, Perkembangan Syari’at, Perkembangan Ilmu Kalam, Zuhud dan Tasawuf, dan
Aliran dalam Islam.
Dalam Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin, Goldziher
mengulas langkah-langkah dalam menafsirkan al-Qur’an, sejarah penulisan
al-Qur’an, ragam bacaan (qira’at), latar belakang timbulnya keberagaman
penafsiran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an.
Goldziher telah berkecimpung dalam lapangan pengkajian Islam,
sejarahnya, tafsir al-Qur’an dengan cara yang profesional, dan pengkajian yang
dihasilkannya dapat dipergunakan oleh jutaan umat Islam dalam membandingkan
hasil kajiannya.[2]
B.
Obyek Material dan Formal Tokoh
Dalam beberapa kajian yang telah
dilakukan Goldziher, ia mempunyai beberapa obyek material dan obyek formal :
1. Kajian Tafsir : Menurutnya peradaban Islam adalah peradaban teks. Dunia
tafsir-menafsir merupakan wilayah paling “bertanggungjawab” atas terbentuknya
peradaban itu. Oleh karena itu, kajian kritis terhadap dunia tafsir merupakan
bagia dari kajian mengenai peradaban Islam itu sendiri. Kajian ini dengan
sendirinya mengajak kita untuk menyeberangi kenyataan sejarah, sosial dan
budaya dengan mencermati berbagai tabir pengetahuan dan skema-skema keyakinan
yang digunakan untuk menyerang antar musuh, khususnya musuh seagama, baik
secara individu maupun kelompok, melalui penafsiran terhadap kitab suci.[3]
2. Kajian Hadits
: Orietalis pertama yang menaruh minat cukup besar
dalam bidang kajian hadis adalah Ignaz Goldziher. Di sini, pengaruh Goldziher
bagi sarjana-sarjana Barat belakangan dalam bidang kajian hadis juga cukup
kental, ketika di tahun 1890 ia menerbitkan Muhammedanische Studien. Dalam
volume ke-2 bukunya tersebut, ia menegaskan tesisnya bahwa hadis lebih
merefleksikan kontroversi hukum maupun doctrinal selama dua abad setelah
kematian Muhammad, bukan kata-kata Muhammad sendiri. Selain itu,Ignaz Goldziher
juga sangat meyakin bahwa keaslian hukum Islam berutang kepada hukum-hukum
Romawi. Tonggak sikap skeptic yang dicanangkan Goldziher dalam menilai hadis
ini memberi pengaruh sangat kuat bagi pandangan kesarjanaan Barat terhadap
tradisi kenabian pada masa-masa selanjutnya.[4]
3. Hukum Islam : berbeda dengan dugaan
beberapa kalangan yang menyatakan bahwa “Islam terlahir sebagai sebuah sistem
yang bulat dan sempurna,” kebulatan Islam, menurut Goldziher, jelas menunggu
karya generasi muslim berikutnya. Seiring dengan perluasan agama dan wilayah kekuasaan
Islam yang sedemikian cepat, dasar-dasar administrasi negara untuk mengurusi
perkembangan baru di wilayah taklukan mulai diletakkan. Masalah terbesar yang
dihadapi para Muslim terdahulu adalah bagaimana hukum agama memberi jawaban
atas persoalan yang timbul akibat persentuhan Islam dengan dunia luar yang
telah memiliki alam pikiran yang berbeda dengan dunia Arab. Agama Islam sendiri
menurut Goldziher tidak sengaja dipersiapkan untuk menghadapi keadaan yang jauh
di luar batas-batas negeri tempat kelahirannya. Menurutnya, kerja keras dan
pikiran Nabi hanya tertuju pada masalah dan kondisi mendesak yang beliau jumpai
saat itu. Oleh karena itu seperti halnya gagasan-gagasan dalam al-Qur’an,
ketentuan yang digariskan Nabi bersifat khusus dan hanya terbatas pada milieu
masyarakat primitif Arab. Beliau tidak memadai untuk menghadapi situasi baru
dan tidak menjangkau peristiwa dan kondisi tak terduga yang disebabkan oleh
perluasaan dan penaklukan Islam. Seandainyapun ada, ketentuan itu hanya
mengatur hal-hal pokok saja, dan itupun masih belum jelas dan mantap. Oleh
karena itu pemikiran hukum Islam dan terbentuknya institusi Islam merupakan
karya generasi Islam berikutnya, yang muncul bukan tanpa perdebatan internal
dan sikap kompromi yang terjadi dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.[5]
4.
Pokok-pokok Pemikiran Tokoh
-
Kajian Tafsir
Madzhab tafsir merupakan tema besar yang
berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu,
untuk menegakkan kitab suci (al-Qur’an), bagaimana setiap dari mereka memahami
dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam
tafsir dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang diusungnya.
Menurut Goldziher, munculnya perdebatan seputar bacaan al-Qur an dalam generasi
awal tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan
kitab suci ini. Ragam bacaan mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan.
-
Kajian Hadits :
Diskursus tentang otentisitas hadith
merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi
hadith. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan
“garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman Allah Swt dalam ayatnya
yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maka secara
normatif-theologis, hadith tidak mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya
dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa
menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan
hadith. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus
hadith pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai
Arabern“(1856) dan Sir William Munir dengan karyanya life
of mahomet, namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu
memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadith
tersebut.
Namun dalam tulisan ini, hanya akan
dibahas satu tema dari sekian banyak tema yang ada dalam karyanya yang cukup
monumental “Muslim Studies, Muhammedanisce Studies” yang
dipublikasikan pada tahun 1896. Adapun tema yang akan dipaparkan
adalah The Writing Down of Hadith, karena tema ini dianggap penting
berdasarkan relevansi sebab-musabab (the cause) permasalahan munculnya
penyerangan eksistensi hadith.
Dalam bukunya, Muslim
Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadith tertulis (Kitaba
al-Hadith) secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan
bahwa hadith adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain
halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan.
Beberapa catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai
berikut :
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadith
merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadith baru
terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi. Lebih lanjut dia
mengatakan bahwa hadith yang membolehkan penulisan (prases pengkodifikasian)
lebih banyak dari pada pelarangan hadith yang lebih mengandalkan pada hapalan.
Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadith
melalui periwayatan Abu Hurairah “Tidak ada seorangpun yang hafal lebih banyak
hadith selain aku, Namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya sedangkan aku
tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah
bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis,
sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan
menjelaskannya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang
dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadith
ini.
Pergulatan pemikiran (ghazwu
al-fikri) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya penulisan hadith,
merangsang Ignaz Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya pelarangan itu
merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang muncul kemudian.
Di antaranya adalah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an,
dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.” Selain itu
juga karena kekhawatiran akan mensakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher,
mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana
yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu (baca: Yahudi) yang mengabaikan
ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.
Nampaknya Ignaz Goldziher sengaja
mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi pelarangan ataupun
pembolehan penulisan hadith. Terlepas apakah periwayatan-periwayatan tersebut
mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa orientalis, khususnya Ignaz
Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang telah ada. Berikut
data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan hadith, yaitu: pada
abad ke-3 H. (masa Imam Bukhori dan Muslim), Abu Ali al-Basri sangat memuji
orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis, karena menulis buku tidak
akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air dan bahaya pencuri yang
akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Sa’ad
Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. Kemudian pada abad ke-6, penulisan
hadith ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka dari Damaskus, yaitu Abu
al-Qosim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.
Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa
hadith yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun
dalam kumpulan hadith-hadith klasik bukan merupakan laporan yang autentik,
tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad
pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan
setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadith, hingga dapat
diperoleh sedikit sekali hadith yang benar-benar orisinil dari Nabi atau
generasi sahabat awal.
Ketiga, Ignaz Goldziher sebagaimana H.
A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadith
sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang
di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama. Namun ternyata
pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari sebagian kaum
Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada.
Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas
dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang
menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain al-Qur’an serta
tidak ada bukti bahwa penulisan hadith itu sudah terjadi sejak awal Islam.
Keempat, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa
redaksi/matan hadith yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadith dinilai tidak
akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadith sehingga
para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadith disebabkan susunan
bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.[6]
-
Kajian Hukum Islam :
Berangkat
dari asumsi Goldziher yang sudah penulis paparkan itu kemudian ia mengatakan
bahwa Hukum Islam itu selayaknya diarahkan untuk memenuhi dan menjawab
permasalahan umat yang terus berkembang. Pentingnya mengkaji lebih dalam
kembali asal-asul yang telah ada dalam hadits tidak akan menyalahi aturan
selama hukum yang dihasilkan tidak sesat dan merupakan kesepakatan bersama.
Menurut Goldziher prinspi terkahir hukum Islam yang sangat penting dan
memberikan karakter khusus terhadap perkembangan hukum Islam adalah Ijma’. Bagi
Goldziher, Ijma merupakan sarana untuk mengakhiri perbedaan pandangan di antara
begitu banyak madzhab hukum klasik. Prinsip ini memperoleh legitimasinya dari
sebuah ungkapan yang dikatan berasal dari Nabi :”Umatku tidak akan bersepakat dalam
berbuat kesalahan (Dhalalah).” Konsekuensinya, apapun yang diterima dan
disetujui oleh seluruh masyarakat Islam harus dipandang sebagai sesuatu yang
benar. Berbeda sikap dan pendapat dengan ijma berarti telah keluar dari
lingkungan masyarakat Muslim. Dengan demikian ijma, menurut Goldziher,
merupakan otoritas legalitas yang paling penting dalam sistem hukum Islam
klasik.[7]
Sehingga dalam hukum saat sekarang mungkin pula bisa diterapkan landasan
tersebut.
5.
Analisis Terhadap Tokoh
-
Dukungan dan pujian terhadap tokoh (pro) :
1.
Beliau merupakan ilmuwan yang sangat bersemangat dalam mengkaji
Islam dan banyak memberikan sumbangan pemikiran dan penemuannya yang membantu
perkembangan Ilmu pengetahuan dalam bidang ke-Islaman bagi umat Muslim.
2.
Bersifat profesionalis dalam mengkaji Islam sebagai Ilmuwan
meskipun dia merupakan seorang non-Muslim.
3.
Semangatnya dalam mengkaji Islam dapat menjadi contoh bagi umat
Muslim untuk lebih bersikap antusias dan apresiatif terhadap dan dalam mengkaji
Islam untuk kemajuan keilmuan Islam ke arah yang lebih baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Ignaz Goldziher mempunyai Obyek Material dan Formal sebagai berikut
:
1.
Tafsir : menggunakan
pendekatan Historis-kritis dalam membangun sebuah asumsi tentang perbedaan
tafsir al-Qur’an dengan melihat penjelasan dari Hadits Rasul serta peradaban
muslim (arab kuno) hingga pada saat ini.
2.
Hadits : ia mempertanyakan ke-otentikan
hadits karena berbeda dengan al-Qur’an yang sudah “bergaransi” dijaga
keasliannya oleh Allah. Hal itu ia mulai dengan skeptisime terhadap hadits
sehingga ia ingin mengkaji ulang hadits dengan pendekatan Historis-kritisnya.
3.
Hukum Islam : perlunya
pengkajian yang terus-menerus dalam menentukan sebuah hukum agar mampu dan
sesuai dengan problem umat yang terus berkembang tanpa harus menyalahi aturan
yang sudah Rasul terangkan dalam Haditsnya.
Pokok-pokok pemikiran Ignaz Goldziher :
1. Mengedepankan
sikap skeptis terhadap Hadits untuk kemudian mengkaji ulang hadits dengan
pendekatan Historis-kritisnya Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar
eksistensi dan validitas hadith tersebut.
2. Goldziher
berpendapat bahwa perbedaan dalam menafirkan al-Qur’an tidak lain merupakan usaha untuk menjaga,
melestarikan dan menegakkan kitab suci ini, karena Ragam bacaan serta pemahaman
dalam menafsirkan al-Qur’an termasuk kemukjizatan al-Qur’an
3. Bersikap kritis
terhadap hukum Islam yang telah ada dengan tujuan untuk menemukan atau
menghasilkan hukum yang lebih solutif terhadap permasalahan umat Muslim
merupakan hal yang seharusnya dilakukan agar Islam mampu menjadi rujukan bagi
terselesaikannya masalah umat yang berbeda-beda dan terus berkembang.
Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…
Amien yaa Robbal Alamien…
Daftar Pustaka
Rahim, Abdul. “Sejarah
Perkembangan Orientalisme” (data pdf-online) (diakses 13 Januari 2013); sumber
web:
Badawi,
Abdurrahman. Eksiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta:
LkiS, 2003
Goldziher, Ignaz.
Madzhab Tafsir : Dari Klasik Hingga
Modern, terj. M. Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010
Syarifuddin, M.
Anwar. Kajian Orientalis Terhadap
Al-Qur’an dan Hadits (Data:pdf)
Fachruddin. Pembentukan, Perkembangan dan Pembaharuan
Hukum Islam dalam Tinjauan Kaum Orientalis (data:pdf)
Jurnal al-Afkar
(Siti Mahmudah Norhayati), “Hadits Di Mata Orientalis (Studi kritis Atas
Pemikiran Ifnaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith)” (Data on-line) (diakses 13
Januari 2013); sumber web : http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith-di-mata-orientalis-studi-kritis-atas-pemikiran-ignaz-goldziher-tentang-penulisan-hadith/
\
[1] Abd
Rahim, “Sejarah Perkembangan Orientalisme” (data pdf-online) (diakses 13
Januari 2013); sumber web: http://hunafa.stain-palu.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/6-Abd.Rahim_.pdf
[2] Abdurrahman
Badawi, Eksiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat (Yogyakarta:
LkiS, 2003), hlm. 151-155
[3] Ignaz
Goldziher, Madzhab Tafsir : Dari Klasik
Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010), hlm. xi
[4] M.
Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis
Terhadap Al-Qur’an dan Hadits (Data:pdf), hlm. 23
[5] Fachruddin, Pembentukan,
Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tinjauan Kaum Orientalis (data:pdf),
hlm 2-3
[6]
Jurnal al-Afkar (Siti Mahmudah Norhayati), “Hadits Di Mata Orientalis (Studi
kritis Atas Pemikiran Ifnaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith)” (Data on-line)
(diakses 13 Januari 2013); sumber web : http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith-di-mata-orientalis-studi-kritis-atas-pemikiran-ignaz-goldziher-tentang-penulisan-hadith/
[7] Fachruddin, Pembentukan,
Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tinjauan Kaum Orientalis (data:pdf),
hlm 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar