PEMBAHASAN
A. Istilah dan definisi Hukum Adat
Istilah Hukum Adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari.
Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda, ‘Adat-recht” yang
pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai
oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada
apa yang sebelumnya disebut dengan Undang-Undang agama, lembaga rakyat,
kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya. Istilah ini kemudian sering dipakai
dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum. Di dalam perundang-undangan
istilah “adat-recht” itu baru muncul pada tahun 1920 dalam UU mengenai
perguruan tinggi di negeri Belanda. Dikalangan masyarakat atau dalam pergaulan
rakyat umum hanya dikenal istilah “adat” saja.
Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan atau tradisi.
Hubungannya dengan hukum adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat menjadi atau
dijadikan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Didalam Pengantar Ilmu Hukum kita ketahui bahwa adat dan kebiasaan adalah
merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan diterimanya dan dipakainya
istilah Hukum Adat yang kemudian menjadi salah satu cabang ilmu hukum, maka
timbul beberapa defenisi yang merumuskan istilah tersebut. Antara lain sebagai
berikut:
a.
Sarjana Barat (Belanda)
1)
Ter Haar
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa, pengaruh
yang pelaksanaannya berlaku dengan serta merta dan dipatuhi sepenuh hati.
2)
Van Djik
Hukum adat adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasikan
dalam kelangan orang Indonesia asli dan kalangan timur asing (tionghoa, arab
dll). Dengan istilah ini juga dimaksudkan bahwa semua kesusilaan disemua
lapangan hidup. Van Djik juga membedakan antara Adat dan Hukum Adat yang
keduanya berjalan bergandengan tangan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu segala
bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku
sehari-hari.
b.
Sarjana Indonesia
1)
Soepomo
Menunjuk kepada pasal 32 UUDS yang menyatakan, “….istilah Hukum Adat ini
dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara, hukum yang
timbul karena putusan-putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan,
kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup di kota-kota maupun di
desa-desa.
2)
Soekanto
Hukum adat adalah keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam
masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman serta mempunyai akibat
hukum.
3)
Kusumasi Pudjosewojo
Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang
akan diadatkan. Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang adat
dan sekaligus hukum pula. Dengan kata lain hukum adat ialah keseluruhan aturan
hukum yang tak tertulis.
Dari definisi dan uraian tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa
yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah adat yang mempunyai nilai dan kekuatan
hukum, yaitu kaidah-kaidah asli sebagai endapan kesusilaan yang hidup yang
berkembang di dalam masyarakat adat atau kelompok-kelompok rakyat Indonesia dan
keberadaannya diakui oleh mereka.
Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat
(beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang
cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan
(gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.
1. Hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum di Indonesia, sistem hukum adat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu:
- Hukum Adat mengenai
tata negara
- Hukum Adat mengenai
warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
- Hukum Adat mengenai
delik (hukum pidana).
2. Wilayah Hukum Adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat
dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti
ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
a)
Aceh
c)
Nias dan
sekitarnya
d)
Minangkabau
e)
Mentawai
g)
Enggano
h)
Melayu
j)
Kalimantan (Dayak)
l)
Gorontalo
m)
Toraja
o)
Maluku Utara
r)
Papua
s)
Nusa Tenggara dan Timor
w)
Jawa Barat (Sunda)
B.
Sejarah Hukum Adat
Paling
tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum
adat, yaitu:
- Sejarah
proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.
Dimana
peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra
hindu. adat istiadat tersebut merupakan adat melayu. lambat laun datang di
kepulauan kita ini kultur hindu, kemudian kultur islam dan kultur kristen yang
masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.
- Sejarah
hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai
dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sebelum
zaman kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat
perhatian terhadap hukum adat. dalam zaman kompeni itulah baru bangsa asing
mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.
- Sejarah
kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem
perundang-undangan di indonesia.
Pada
periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Masa
menjelang tahun 1848,
- Pada
tahun 1848 dan seterusnya, dan
- Sejak
tahun 1927, yaitu hukum adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke
‘kodifikasi’.
C. Dasar berlakunya Hukum
Adat
a. Dasar
Filosofis
Adapun
yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya
nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah
terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong
royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan
kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar
Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi filosofis Hukum
Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan
perkembangan jaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila seperti juga yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 hanya menciptakan
pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945 RI.
Pokok-pokok
pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok-pokok
pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah Pancasila.
Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi hukum adat
karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan mencerminkan
kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero, 1983:14). Dengan
demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai
Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
b. Dasar
Sosiologis
Hukum
yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem, artinya bahwa hukum itu
merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya
(Mertokusumo, 1986:100). Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama
lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata hukum
nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional.
Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu sistem
hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap.
Dalam
sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat dibedakan menjadi
hukum tertulis (hukum yang tertuang dalam perundang-undangan) dan hukum yang
tidak tertulis (hukum adat, hukum kebiasaan).
Hukum
yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi hukum yang benar-benar
berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) dan ada hukum yang
diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai contoh Hukum
yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan diundangkannya
dalam lembaran negara. Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai the
living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the living law karena
tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat.
Hukum
tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara
kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum
yang hidup (the living law). Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah
diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan
dan tidak dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the
living law. Salah satu contohnya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil.
Hukum
Adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti
hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat
dengan sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the
living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati
oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur negara. Berbagai istilah untuk
menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu : People
law, Indegenous law, unwriten law, common law, customary
law dan sebagainya.
c. Dasar
Yuridis
Dasar
Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan.
Mempelajari segi yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar
hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih, 1984:15). Berdasarkan fakta
sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada Jaman Kolonial (penjajahan
Belanda dan Jepang) dan Jaman Indonesia Merdeka[1].
1.
Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)
Sebelum
Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan
Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan
sebelumnya juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum
penjajahan Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun 1925
diundangkan dalam Stb. No. 415 Jo. 577 berlaku mulai 1 Januari 1926 dimasukkan
dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeleing) lengkapnya Wet Op De
Staatsinrichting Van Nederlands Indie.
2.
Jaman Kemerdekaan Indonesia
-
Ketentuan UUD 1945
Dalam
pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.
Beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang memeperkuat
berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain:
1.
Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan
bahwa:
-
Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan
berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan
makmur.
-
Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya dapat diperhatikan
kenyataan-kenyataannya yang hidup di Indonesia. Dalam pemyempurnaan UU hukum
perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan faktor-faktor agama, adat dan
lain-lain.
2.
UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.
D. Tujuan mempelajari Hukum Adat
a. Tujuan Teoritis
Tujuan Teoritis adalah untuk memelihara dan mengembangkan hukum adat sebagai
ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia. Dalam
piagam Adatrechtstichting (Yayasan Hukum Adat) antara lain disebutksan :
Menjamin kekalnya penyelidikan ilmiah terhadap hukum pribumi Hindia Belanda dan
bagian-bagian lain dari nusantara yang tidak terkodifikasi serta memajukan
studi mengenai hukum tersebut secara kontinyu.
b.
Tujuan Praktis
1) Bagi Praktisi Hukum
Agar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dapat mempertimbangkan dan menerapkan
hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya dalam
kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Dalam hubungan ini Ter Haar mengatakan
bahwa setiap hakim yang harus mengambil keputusan menurut adat, haruslah
menginsyafi sedalam-dalamnya tentang sistem hukum adat, kenyataan sosial serta
tuntutan keadilan dan kemanusian untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik.
2)
Bagi pembentuk Undang Undang
Agar dalam pembentukan undang-undang atau peraturan perundang-undangan
mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat atau adat pada umumnya, sehingga
perundang-undangan yang dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat
yang menjadi subjeknya.
c.
Tujuan idealis (Ilmu untuk masyarakat)
Menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan rasa suka, cinta dan bangga terhadap
bangsa dan budaya sendiri. Menjadi bahan utama dalam pemebentukan hukum
nasional dengan membuang segi-segi negatifnya dan disesuaikan dengan sistem
hukum modern.
Hukum adat yang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Indonesia yang antara
lain bersifat komunalitas (gotong royong) harus menjadi bahan utama dalam
pembentukan hukum nasional Indonesia, agar sifat dan kepribadian yang positif
dan mulia tersebut tidak hilang.
E. Corak Hukum Adat
Soepomo
mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan
perwujudkan dari struktur kejiwaandan cara berfikir yang
tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1. Mempunyai
sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat
, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa
kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2. Mempunyai
corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup
alam Indonesia;
3. Sistem
hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang
kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi
dalam pengatur pergaulan hidup.
4. Hukum
adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap
hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat
(atau tanda yang tampak).
Moch.
Koesnoe mengemukakan corak hukum adat :
1. Segala
bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi
tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan
dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2. Masyarakat
sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat
kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan
yang utuh;
3. Hukum
adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam
lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan
serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan
keselarasan dalam hidup bersama;
4. Pemberian
kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk
melaksanakan hukum adat.
Hilman
Hadikusuma, mengemukakan corak hukum adat adalah:
1. Tradisional;
artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
bersangkutan.
2. Keagamaan
(Magis-religeius); artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan
dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
3. Kebersamaan
(Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga
kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah
pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).
4. Kongkrit/
Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak,
terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima
bersamaan (samenval van momentum)
5. Terbuka
dan Sederhana;
6. Dapat
berubah dan Menyesuaikan;
7. Tidak
dikodifikasi;
8. Musyawarah
dan Mufakat;
Sifat
dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya,
karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh
karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan
aktifitas yang disebut modern.
F. Lembaga Adat dan
Peranannya
Adat bagi suatu bangsa merupakan ruh yang menggerakkan bangsa atau suku
tersebut untuk menjaga eksitensi dan jati dirinya. Adat bukan saja bagian dari
benda-benda peninggalan sejarah dan tata cara prilaku hidup masyarakat
setempat, tapi juga merupakan bagian dari pranata sosial yang berfungsi sebagai
suatu lembaga yang mampu menyelesaikan bermacam persoalan yang muncul dalam
masyarakat. Dalam khazanah kebudayaan Aceh, adat sebagai institusi, walaupun
wujudnya sekarang belum mengambil bentuknya seperti lembaga-lembaga/
institusi-institusi pemerintahan, tetap telah memainkan peran pentingnya dalam
mengatur pola hidup bangsa ini.
1. Pengertian Lembaga Adat
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata
“lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang
bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal ini,
lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola
prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur
dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis
lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan[2].
Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun
relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang
terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar[3].
2. Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani
dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan
hidup sejahtera.
3. Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
- Agama : Hindu,
Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali
dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku
dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti
antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa
lain, misal : Arab, China, Eropa.
4. Lembaga Adat Dalam Lintasan Sejarah
Kita misalkan saja pada satu contoh dimana mengkaji tentang Asal Usul
Masyarakat Aceh diaman adat istiadat suatu komunitas dapat diketahui secara
lebih detil dengan terlebih dahulu dikaji asal usul masyarakat tersebut, apakah
masyarakat tersebut suatu kelompok yang homogen dan telah sangat lama menetap
di pemukiman tersebut atau heterogen yang merupakan kumpulan pendatang lalu
mendiami suatu daerah.
Untuk masyarakat Aceh dimana dalam peta wilayah ini didapati beberapa
kelompok masyarakat yang memiliki khazanah budaya dan adat istiadat yang
beragam dan kadang cenderung berbeda atau ada pula yang agak mirip. Dalam
masyarakat Aceh yang barangkali orang menganggap sebagai satu kesatuan suku
namun hakikatnya memiliki komunitas yang majemuk, ditemukan keragaman
adat-istiadat dan tradisi yang diwarisi, sebagiannya ada yang memiliki kesamaan
dan kemiripan, namun tidak sedikit pula yang berbeda.
G. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Hukum Indonesia
Hukum
Adat dijadikan dasar bagi terbentuknya hukum nasional dalam rangka pembangunan
hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No. 11/MPRS/1960 dimana asas yang
harus diperhatikan dalam pembangunan hukum adalah :
a) Pembangunan
hukum harus diarahkan pada homogenitas dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan
yang hidup di Indonesia.
b) Harus
sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur. Hukum adat dijadikan dasar bagi hukum
nasional, karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa
Indonesia.
H. Hukum Pidana Adat
Sebenarnya hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana
dengan hukum perdata pada umumnya. Pemisahan ini dilakukan sekedar untuk
memudahkan dalam mengenal dan mempelajari dengan mengambil perbandingan dari
struktur hukum barat.
Apa yang kita sebut dengan Hukum Pidana Adat ini juga tidak mengenal pembedaan
secara tegas antara kejahatan dengan pelanggaran. Berat ringannya hukuman yang
dijatuhkan lebih dipengaruhi oleh intensitas perbuatan (kejahatan atau
pelanggarannya yang dilakukan serta akibat yang ditimbulkannya. Hukuman adalah
sebagai sutau reaksi adat dalam rangka upaya untuk mengembalikan atau memulihkan
keseimbangan kosmos yang telah terganggu, baik yang berkenaan dengan alam
semesta, penguasa atau orang / badan / lembaga yang dihormati masyarakat,
kelompok atau orang perorangan.
Adat reaksi itu dapat dijatuhkan oleh Raja,Lembaga Adat, Pimpinan masyarakat,
Pejabat tertentu atau bahkan oleh perseorangan. Hukum pidana Adat bersifat
terbuka dan tidak mengenal apa yang disebut dalam ilmu hukum Prae existente
regels yaitu penetapan terlebih dahulu tentang perbuatan-perbuatan apa yang
dilarang dan diancam dengan hukum (pidana) sebagaimana yang dirumuskan dalam
Pasal 1 KUHP kita yang merupakan salah satu asas Hukum Pidana.
1.
Jenis-jenis Perbuatan (Tindak) Pidana Adat
Dalam rangka upaya untuk mengenal dan sebagai pedoman untuk mempelajari hukum
Pidana Adat dapat kita bedakan jenis-jenis perbuatan yang dilarang atau
dipandang sebagai pelanggaran atau kejahatan atau dengan kata lain tindak
pidana adat. Jenis tindak pidana adat dapat kita bedakan menurut objem
perbuatannya, yaitu kepada apa / siapa perbuatan ditujukan, atau siapa yang
dirugikan atau apa yang menderita kerusakan akibat perbuatan tersebut.
Contohnya:
-
Alam semesta, seperti tempat-tempat yang dipandang suci, yang dianggap keramat
dan sebagainya.
-
Martabat, kehormatan, kesusilaan (berakibat jatuhnya martabat atau harga diri)
-
Harta benda atau kekayaan material seperti memusnahkan, membakar, merusak,
merampok, dan sebagainya.
2.
Hukum (pidana) adat
Hukum atau tindakan yang dapat atau mungkin dijatuhkan atau dikenakan:
a.
Dibunuh (dihukum mati) caranya digantung, dipancung, dibenamkan di dalam air,
dan lain-lain.
b.
Dibuang (diusir) dari negeri, untuk selama-lamanya atau untuk sementara.
Tindakan tersebut juga dapat dilakukan oleh kerabat / suku / marga bisa
bertindak terhadap warga
c.
Ditahan dengan cara dikurung atau dipasung atau diikat di dalam rumah,
pekarangan atau ditempat terbuka.
d.
Membayar denda atau ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan dengan benda
yang sama atau sejenis atau yang menyerupai atau dalam wujud lain (ganti
uang/beras dan lain-lain).
e.
Membayar denda adat untuk negeri.
f.
Pernyataan permohonan maaf secara resmi dengan atau tanpa kewajiban sesuatu.
g.
Mengadakan perjamuan sebagai perwujudan perdamaian antara yang bersalah
melakukan atau kerabatnya dengan pihak yang menjadi korban/dirugikan.
Dalam
kasus-kasus tertentu korban atau pihak kerabat yang dirugikan dapat bertindak
sendiri untuk menuntut balas jika dilakukan dalam jangka waktu tertentu, hal
itu dipandang sah (wajar) atau ditolerir oleh adat (masyarakat).
Keputusan
ada kalanya diambil oleh raja, seorang pejabat atau fungsionaris hukum atau
suatu badan tertentu. Apa saja yang diputuskan dan bagaimana proses pengambilan
keputusan tidaklah berlaku. Hal itu adalah merupakan salah satu ciri hukum adat
sebagai hukum tidak tertulis. Adakalanya sanksi terhadap suatu perbuatan atau
pelanggaran telah diketahui umum atau oleh orang-orang tertentu antara lian
karena mencontoh keputusan terhadap kasus serupa yang pernah terjadi
sebelumnya. Namun dalam pelaksanaannya belum tentu harus persis sama. Dalam
penjatuhan hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tidak
sengaja, yang baru sekali atau telah berulang, juga menjadi pertimbangan,
demikian juga dengan umur Tersangka.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat telah lama lahir
dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan juga melihat dari tingkah
laku masyarakatnya. Berkembangnya hukum adat karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu agama, kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan
hukum adat, hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing. Seiring dengan
perkembangan zaman sehingga akhirnya Hukum Adat dijadikan dasar bagi
terbentuknya hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum , karena merupakan
hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.
Adat
merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari
suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta
dipatuhi masyarakat pendukungnya.
Adat
merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga
anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena
sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan.
Dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia terdapat tiga dasar, yaitu
meliputi:
a. Dasar Filosofis : sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila.
a. Dasar Filosofis : sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila.
b.
Dasar Sosiologis : bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan
yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan satu sama lainnya
c. Dasar Yuridis : Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan.
c. Dasar Yuridis : Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan.
-
Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda Dan Jepang)
-
Jaman Kemerdekaan Indonesia.
Istilah
lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan
“adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang
bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar