Pengertian Dan Perkembangan Makna Naskh,
Nasikh, Dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti
izalah (menghilangkan). Menurut istilah naskh ialal “mengangkat (menghapuskan)
hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain”. Sedangkan mansukh adalah
hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Secara terminologi,terdapat perbedaan definisi
nasikh. Para ulama mutaqaddimin abad ke-1 hingga ke-3 Hijriyah memperluas arti
nasikh hingga mencangkup hal-hal berikut :
1.
Pembatalan
hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2.
Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
3.
Penjelasan
yang datang kemudian terdapat hukum yang bersifat samar.
4.
Penetapan
syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Menurut Fakhrurrazi, di dalam Al-Qur’an ada 3
jenis nasakh. Pertama, nasakh bacaan dan hukumnya. Kedua, nasakh bacaan namun
hukumnya tetap. Ketiga, nasakh hukum namunbacaannya tetap
Rukun Nasikh
Rukun nasakh itu ada empat], yaitu:
1. Adat an-nasakh, yaitu
pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, adalah dalil yang
kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu
berasal dari Allah Ta’ala, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula lah
yang menghapuskannya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anhu, yaitu
orang yang dibebani hukum.
1.
yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2.
dalil yang menghapus hukum syara’
tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3.
adanya tenggang waktu antara nasakh
dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut
(gandeng ayat).
Contoh :
ثم اتموالصيام bukan
merupakan mansukh dari kalimat إلى الليل (yang
dianggap nasikh).Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu
kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat
berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4.
antara dua dalil nasakh dan mansukh
adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.
Syarat naskh
Sebagaiman telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran nasakh
dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat
tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.[4]
Diantara syarat-syarat yang disepakati
antara lain:
a.
Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b. Pembatalan itu datangnya
dari tuntutan syara’
c. Pembatalan hukum tidak
disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah
tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan
puasa tersebut.
d. Tuntutan yang mengandung
nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a. Alasan yang dikemukakan
oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang
dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk
melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu baik.
b. Golongan Mu’tazilah dan
Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah
ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat
tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu
perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c. Sebagian ulama ushul
fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka
beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.
d. Sebagian ahli ushul dari
golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan menasakh terhadap nash
al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak
boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis mutawatir dengan
hadis ahad.
Kontroversi ulama
tentang nasikh dan mansukh
Terdapat dua
golongan ulama.baik di kalangan ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin mengenai
nasikh. Pertama, golongan yang membenarkan adanya nasikh dalam Kedua, golongan yang menolak adanya nasikh
dalam Al-Qur’an.
Golongan
yang membenarkan adanya nasikh dalam
Al-Qaur’an dipelopori oleh Asy-Syafi’i, An Nahhas, As Suyuti, Asy Syaukani.
Golongan yang tidak menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada nasikh dan
mansukh dipelopori oleh Abu Muslim Al Isfahani, Al Fahrurrazi, dan Muhammad
Abduh.
Menurut
Al-Asfahani, tidak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman Allah. Kita
wajib beriman bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada pembatalan (nasikh). Semua
ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita amalkan.
Di samping itu,
seperti diungkap Az-Zarqani, terdapat ulama ushul fiqh maupun ulama tafsir yang
mengemukakan pendapat tertentu. Di antara mereka adalah Ibnu Katsir,
Al-Maraghi, Asyatubi, dan Asy Syafi’i.
Dalam rangka
membuktikan kekeliruan orang-orang yahudiyang menolak ajaran Islam dengan dalih
tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapan yang termaktubdalam taurat,
Ibnu Katsir menyatakan bahwa tidak ada alasan yang menunjukan kemustahilan
adanya nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia menetapkan hukum
sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkannya.
Urgensi mempelajari nasikh mansukh
Imam Ali berkata pada seorang Qadhi, “Apakah
kamu mengetahui al-nasikh wa al-mansukh?” Qadhi itu menjawab, “tidak”. imam Ali
berkata kembali, “Binasalah kamu dan kamu membinasakan”. Para imam pun
menjadikan pengetahuan naskh dan mansukh syarat seseorang boleh menafsirkan
al-Quran. Pengetahuan mendalam akan Naskh memudahkan kita menentukan mana yang
dahulu dan yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan
al-Quran dan menampakkan kepada kita hikmah Allah dalam mendidik makhluk.
Bahkan menerangkan kepada kita bahwasanya al-Quran datang dari Allah, karena
Allah-lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang
dikehendaki tanpa campur tangan seorangpun.
Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…
Amien yaa Robbal Alamien…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar