Minggu, 31 Maret 2013

ILMU MAJAZ AL - HADITS


  1. PENGERTIAN
Majaz menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah lafadz yang digunakan tidak pada mestinya dalam terminologi percakapan, dengan adanya Alaqah[1] dan Qorinah[2] yang mencegah terhdap makna asli[3]. Jadi yang harus kita garis bawahi disini adalah adanya pemalingan dari makna asli.
Ilmu yang menjelaskan tentang ungkapan kata dalam redaksi hadits yang tidak dimaknai sebagaimana makna aslinya, karena adanya qorinah bahasa (Lafdziyyah ataupun Haaliyah) yang mengharuskan hal tersebut.[4]
Dalam ilmu balaghah sendiri dibedakan antara kinyah dan majaz, tapi ketika memasukkan pembahasan majaz terhadap ilmu hadits disini disamakan. Majaz disini meliputi majaz lughawi, aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lain yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung atau yang dipalingkan terhadap makna asli, tetapi dapat dipahami dengan alaqah dan qarinah . Jadi, sebagai standard disini, suatu lafadz itu bisa dikatakan sebagai majaz ketika ada Alaqah yang melarang terhadap pemaknaan hakiki dan Qarinah yang mnyertainya.
Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling menguasai balaghah . Sabda-sabda beliau merupakan bagian dari wahyu. Maka kita pasti akan banyak menemukan majaz dalam hadis yang beliau sampaikan. Karena dengan menggunakan majaz pastilah orang lebih terkesan dengan apa yang beliau utarakan serta hal itu lebih baligh atau lebih dapat sampai kepada penerima hadits.
  1. Urgensi, Metode, dan Obyek Studi Majaz al – Hadits
Urgensi dari kajian majaz ini ada dalam beberapa hal[5] :
  • Memberikan pemahaman yang benar terhadap makna majaz yang digunakan oleh nabi dalam haditsnya. Dengan mempelajari majaz, akan membuka cakrawala kita tentang makna yang lebih tepat dari sebuah hadits.
  • Menjauhkan kita terhadap penta’wilan yang berlebihan terhadap hadits-hadits yang menggunakan majaz. Dengan mengetahui syarat yang ada dalam menggunakan majaz akan menghilangkan penta’wilan kita yang terlalu berlebihan yang sampai membuat pemahaman yang melenceng dari apa yang dimaksutkan teks hadits.
  • Menjauhkan dari pemahaman yang dipaksakan terhadap makna yang dipakai harfiah, sedangkan sebenarnya suatu hadits tersebut menggunakan majaz. Hal ini akan menyebabkan kesulitan dalam memahami suatu teks hadits.
  • Membedakan antara mana yang merupakan majaz dan yang hakiki.
Metode
Dalam buku Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, kita bisa simpulkan bagaimana yusuf Qardawi menggunakan metode ta’wil dalam memahami majaz hadits. Adapun langkah-langkahnya adalah:
Pertama, beliau mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an.
Kedua, dengan mengaitkan dengan hadis-hadis setema.
 Ketiga,mengambil dari pendapat ulama',
Keempat, pendekatan logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan.
Kemudian qarinah (indikator) yang digunakan adalah qarinah lafziyyah (indikator dalam teks) dan ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar teks). Hal ini karena Yusuf al-Qaradawi dalam memaknai teks selalu berangkat dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
Obyek
Obyek kajian dalam majaz menurut kami adalah matan hadits yang maknanya dipalingkan dari makna aslinya. Hal ni secara garis besar, sedangkan lebih detailnya pada lafadz yang dipalingkan atau lafadz yang tidak semestinya(tidak biasa) digunakan pada kalimat matan hadits.




C. Sebab – sebab terjadinya Majaz al- Hadits
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai sebab terjadinya pengalihan makna haqiqi ke makna majazi.[6]
Pertama, menurut Abu al-Fath ‘Usman Ibn Jinni, bahwa terdapat tiga alasan mengalihkan makna haqiqi ke makna majazi yaitu, Ittisa’ (perluasan makna), ta’kid (penguatan makna), dan tasybih (keserupaan makna).
Kedua, menurut ahli bahasa, yang menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan makna haqiqi ke makna majazi. Sebab – sebab tersebut antara lain:
  • Jika diungkapkan dengan ungkapan haqiqi terasa berat, karena mengandung konotasi yang terlalu berlebihan, sehingga perlu digunakan kata-kata yang lebih ringan untuk diucapkan.
  • Penggunaan ungkapan haqiqi mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
  • Penggunaan majaz adalah merupakan sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah lafaz dan maknanya, yang tidak dapat diungkapkan dalam bentuk haqiqi.
  • Penggunaan ungkapan majazi adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara karena sangat agung kedudukannya.
Ketiga, menurut Ibrahim Anis menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain:
Penjelasan makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasan makna yang abstrak menjadi makna dalam bentuk yang kongkrit, sehingga orang yang mendengarkannya mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dengan bentuk majaz.
Penggunaan majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang, semakin berkembang intelektual manusia maka hal – hal yang masih bersifat abstrak tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut adanya perluasan makna.

D. Kitab-kitab yang berkaitan dengan Majaz al-Hadits
·         Al-Majazat al-Nabawiyyah karya as-Syarif ar-Rida.
·         Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah Ma’alim wa Dhawabith karya Yusuf al-Qardhawi.


E.     Contoh Majaz al-Hadits
Shahih Bukhori : 1076[7]

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقِيلَ مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash berkata, telah menceritakan kepada kami Manshur dari Abu Wa'il dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata: Diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang seseorang yang dia terus tertidur sampai pagi hari hingga tidak mengerjakan shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Syaitan telah mengencingi orang itu pada telinganya". (HR. Bukhori)
Kata بَالَ oleh orang-orang Arab digunakan untuk ditujukan kepada orang yang telah tampak pelanggarannya dan jelas kelemahannya. Adapun kata  بَالَ ini pada asalnya diambil dari kata الافساد  (kerusakan). Jika dimasukkan pada hadits diatas berarti maksud Rasulullah didalam hadits diatas yaitu sungguh setan telah berhasil merusak pendengaran dan memutus hubungan pemuda dengan tuhannya mengenai ketaatan dan shalat pada waktunya.
Maksud  بَالَ الشَّيْطَانُ  dalam hadits diatas adalah setan telah berhasil merobohkan dan merusak pendengaran seorang pemuda, dalam arti lain setan benar-benar merusak pendengarannya dan memutus hubungan pemuda tersebut  dengan tuhannya karena setan telah menguasai dirinya sehingga dia berhasil mencegah pemuda tersebut untuk melakukan shalat shubuh.[8]


Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…



[1] Yang dimaksud dengan alaqah dalam  kitab jawahirul balaghah adalah kesesuaian antara makna hakiki dan makna makna majaz.
[2] Yang dimaksud dengan qarinah disini adalah suatu perkara yang dijadikan sebagai dalil bahwa yang dimaksudkan bukan yang sebenarnya..

[3] Al-Hasimi Ahmad, Jawahirul Balaghah .(Surabaya: Hidayah)  hal 290
[4] Dr. Nurun Najwah, Hand Out Ulumul Hadits III
[5] Fairus Khalili, Majaz Ilmu Hadits, diakses pada tanggal 18 Maret 2013, dikutip dari http://agamaislam7.blogspot.com/2012/01/majaz-ilmu-hadits.html

[6] Dikutip dari skripsi M. Syafi’i “Pemahaman Yusuf Al- Qardhawi terhadap buku “Kaifa Nata’amal ma’a As- Sunnah An- Nabawiyah ma’ alim wa dhawabit” Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tahun 2009
[7] Software Lidwa Pusaka “Kitab 9 Imam”
[8] Al- Syarif Ar- Ridha, al-majazat an-nabawiyyah, (Mesir: Muassasah al- Halaby)  hal 102 dikutip dari http://16tholib.blogspot.com/2012/03/aplikasi-majaz-dalam-hadits-studi.html diakses pada 16 Maret 2013

Sabtu, 16 Maret 2013

TOKOH ORIENTALIS " IGNAZ GOLDZIHER"


" IGNAZ GOLDZIHER"
A.    Latar belakang Masalah
Pada zaman keemasan Islam, para intelektual muslim telah mengadakan proses transfer ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Pada saat itu, proses intelektual berjalan dengan lancar yang didukung oleh pemerintah Islam, sehingga melahirkan sarana intelektual seperti sekolah, perguruan tinggi dan perpustakaan. Hal ini menjadikan Islam maju di bidang peradaban. Di bidang sains, seperti kedokteran, matematika, astronomi, dan lain-lain seperti filsafat yang kemudian melahirkan keahlian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (Nasution, 1995:39-40).
Pada abad  ke-13, kemajuan peradaban umat Islam mendapat perhatian oleh orang-orang Barat,  sehingga mereka berdatangan ke dunia Islam untuk belajar sains, baru kemudian mereka kembangkan. Pada abad ke kesembilan belas, dimana dunia Islam sudah mengalami kemunduran, orang-orang Barat datang lagi ke dunia Islam  yang kedua kalinya dengan membawa sains dan teknologi yang pernah mereka pelajari di dunia Islam pada abad ketiga belas setelah mereka kembangkan selama enam abad (Nasution, 1995:39-40).
Meskipun dunia Islam mengalami  kemunduran dan Barat mengalami kemajuan, tetapi dunia Islam pada saat itu, masih menyimpan khasanah peradaban. Hal ini menjadikan orang-orang Barat yang memiliki sains dan teknologi tertarik untuk mengembangkan keahliannya dalam meneliti dan mengenali kembali dunia Islam, sehingga lahirlah orang Barat yang ahli di bidang ketimuran yang disebut dengan   Orientalis.[1]
Dalam perkembangannya orientalisme banyak yang mengecam karena Orientalisme memiliki tujuan untuk mengkolonialisasi bangsa Timur [Edward Said,Orientalism], adalah Orientalis pada sekitaran abad X (sejak dimulainya perang salib) yang tidak memiliki keselarasan langkah antara Orientalis satu dengan yang lain dan banyak mendapat dukungan dari gereja, memiliki kecenderungan untuk mencari-cari kekurangan dalam ajaran Islam untuk memelihara kepercayaan kaum Kristen, dan  pada abad tersebut karya Orientalis memuat sisi negatif dari ajaran Islam dan Rasulullah dengan tanpa memberikan argumentasi kuat dan bukti historis[Ihsan Ali Fauzi;Maxim Rodinson]. Namun terpisah dari abad dimana para Orientalis “memusuhi” Islam, adapula Orientalis yang sangat konsen dan Obyektif dalam mengkaji Islam serta memberikan sumbangan yang berguna untuk memperluas khazanah keilmuan muslim dalam kajian agama Islam. Salah satu yang ingin penulis bahas dalam makalah ini yakni Ignaz Goldziher (1850) yang merupakan salah satu Orientalis ahli dalam kajian Islam. Ia salah satu Orientalis yang sangat terkenal dalam kajian Hadits dan selalu menjadi rujukan utama peneliti Muslim untuk mengetahui pandangan Orientalis terhadap Hadits.
Beberapa karya Goldziher sangat bermanfaat dan selalu menjadi rujukan untuk menbandingkan hasil kajiannya yang ia capai setelah banyak berkecimpung dalam pengkajian Islam. Dan makalah ini setidaknya ingin mencoba membahas Ignaz Goldziher dengan pemikirannya dalam kajian Islam secara sangat sederhana ini, karena keterbatasan kemampuan penulis karena minimnya pengetahuan dan kecakapan dalam memahami atau mengkritisi Ilmu dan tokoh tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dan mengarahkan penulis agar terfokus dalam membahas makalah ini, maka penulis membuat rumusan masalah sebagaimana berikut :
1.      Apa sajakah Obyek Material dan Formal Ignaz Goldziher dalam kajian Islamnya ?
2.      Bagaimanakah pokok-pokok pikiran Ignaz Goldziher dalam kajian tersebut ?
















PEMBAHASAN
A.    Biografi Tokoh
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak sepserti keluarga Yahudi eropa yang sangat fanatik saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1896, hanya satu tahun dia di sana, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas tersebut adalah Fleisser, sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.
Kemudian Ignaz Goldziher kembali ke Budhapes dan ditunjuk sebagai asisten guru besar di Universitas Budaphes pada tahun 1872, namun dia tidak lama mengajar. Sebab dia diutus oleh kementrian ilmu pengetahuan ke luar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia ditugasi untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat bertukar kajian di Universitas al-Azhar.
Ketika diangkat sebagai pemimpin Universitas Budaphes, dia sangat menenkankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota Badan Pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknyapada tahun 1907.
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali mengadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di berbagai Universitas asing yang mengundangnya. Goldziher meninggal dunia pada 13 November 1921 di Budaphes.
Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai sejak berusia 16 tahun ketika dia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada usia itu, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah berbahasa Turki ke dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah. Sejak tahun 1866, ketika usia Goldziher mencapai 16 tahun, ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar, memberi ulasan dan kritik-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan yang dihasilkan mencapaui 592 kajian. Buku klasik pertama yang menjadi sasaran kajiannya ialah Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum, yang dikerjakan pada tahun 1884. Sekalipun jika ditilik dari judul yang dibahasnya hanya berhubungan dengan madzhab Zhahiriah, tetapi pada kenyataannya sebuah pengantar yang cukup bagus memasuki kajian fiqh. Ia tidak membatasi kajiannya hanya pada aliran Zahiriah saja, tetapi juga ushul fiqh yang dikajinnya secaradetil dan disertai dengan argumen-argumen mendasar yang melatarbelakangi timbulnya madzhab-madzhab dalam fiqh. Demikian pula tentang ijma’ dan tokoh-tokoh tiap madzhab. Dikaji juga tentang korelasi antara madzhab Zhahiriah dengan madzhab lainnya. Sehingga kajiannya merupakan pengantar ke dalam kajian ushul fiqh dan fishnya secara holistik. Selain itu, dibicarakan juga tentang pertumbuhan dan perkembangan madzhab Zhahiriah dalam kaitannya dengan masalah-masalah teologi sejak Ibn Hazm sampai dengan Ibn Taymiyyah dan al-Maqrizi. Dalam kajian ini, Goldziher merujuk pada sumber-sumber utama dalam setiap pembahasannya.
Lima tahun kemudian, Goldziher menulis karangan besar yang bertalian dengan kajian dengan judul Dirasat Islamiyyat, juz pertama terbit tahun 1889, sedangkan juz kedua terbit pada tahun berikutnya. Pada juz pertama Goldziher membahas tentang al-Watsaniyah wa al-Islam, di mana ia memakai pendekatan baru dalam mengkaji masalah ini. Goldziher tidak menggunakan metode yang umumnya dipakai oleh para orientalis saat itu, seperti Wilhawzen. Menurut Goldziher pergulatan yang terjadi pada masa Arab Jahiliah melawan semangat Islam ternyata tidak terbatas hanya pada kalangan bangsa Arab saja, tetapi juga terjadi pada seluruh bangsa yang lahirnya masuk Islam. Goldziher menjelaskan bagaimana proses terjadinya pengislaman dan nilai-nilai Islam yang menjadi unggulan atas tradisi Jahiliah. Islam unggul dalam ketinggian moralnya, seperti memuliakan darah bangsa Arab. Islam menyeru pada persamaan hak, tidak ada perbedaan derajat antara manusia, Islam juga menolak ketinggian seseorang dikarenakan nasabnya. Semua tergambar dari pondasi bahwa tidak ada keutamaan bangsa Arab atas non-Arab kecuali takwanya.
Pada juz kedua dari karyanya inilah yang perlu diwaspadai karena karya ini sangat penting dan mengandung unsur pemebelokan yang sangat berbahaya. Pada bagian pertama bahasannya tentang hadits, Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadits serta mengungkapkan urgensi hadits bukan dalam arti yang sebenarnya menurut Islam. Menurutnya, hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui perbincangan politik, keagamaan, dan mistisme dalam Islam. Masalah-masalah ini terjadi sepanjang masa. Hadits dipakai sebagai senjata oleh masing-masing madzhab. Baik kelompok politik maupunpaham fiqh berupaya menggunakan hadits sebagai alat untuk menguasai persoalan kehidupan di tengah umat Islam. Jadi, hadits tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompok aliran, baik politik maupun keagamaan. Pada bagian lain dari juz kedua, Godziher membahas tentang pengkultusan wali dikalangan umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Misalnya korelasi pengkultusan yang terjadi dalam Islam dan pengkultusan pada masa Jahiliah. Ia membagi pengkultusan wali menurut lokasi-lokasinya yang tersebar di dunia Islam.
Goldziher sangat mahir dan konsen terhadap permasalahan seputar agama terutama Islam. Ia banyak pula menulis dan menciptakan beberapa karya yang ada dalam bentuk artikel ataupun buku-buku. Beberapa buku dan artikel yang pernah dibuatnya adalah:
-          Islam dan Agama Persia (1900) ; artikelnya yang membahas tentang pengaruh agama terhadap kekuasaan
-           Al-Mu’ammarin (1899) ; dalam buku ini Goldziher menyinggung beberapa buku yang berbahasa Yunani, seperti buku Lucian dan Phlegon aus Tralles
-          Menulis pendahuluan dalam buku Tauhid-nya Muhammad ibn Tumart al-Mahdi al-Muwahhidun (Lucian, 1903)
-          al-Mustadhhari (Leiden, 1916) ; menulis beberapa bagian dari buku  tersebut yang berisi penolakan terhadap ajaran kebatinan al-Ghazali
-          Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910)
-          Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin (Leiden, 1920)
Muhadharat fi al-Islam merupakan salah satu karya monumentalnya yang membahas penilaian umumnya tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Yakni, Muhammad dan Islam, Perkembangan Syari’at, Perkembangan Ilmu Kalam, Zuhud dan Tasawuf, dan Aliran dalam Islam.
Dalam Ittijahat Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin, Goldziher mengulas langkah-langkah dalam menafsirkan al-Qur’an, sejarah penulisan al-Qur’an, ragam bacaan (qira’at), latar belakang timbulnya keberagaman penafsiran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an.
Goldziher telah berkecimpung dalam lapangan pengkajian Islam, sejarahnya, tafsir al-Qur’an dengan cara yang profesional, dan pengkajian yang dihasilkannya dapat dipergunakan oleh jutaan umat Islam dalam membandingkan hasil kajiannya.[2]
B.     Obyek Material dan Formal Tokoh
Dalam beberapa kajian yang telah dilakukan Goldziher, ia mempunyai beberapa obyek material dan obyek formal :
1.      Kajian Tafsir : Menurutnya peradaban Islam adalah peradaban teks. Dunia tafsir-menafsir merupakan wilayah paling “bertanggungjawab” atas terbentuknya peradaban itu. Oleh karena itu, kajian kritis terhadap dunia tafsir merupakan bagia dari kajian mengenai peradaban Islam itu sendiri. Kajian ini dengan sendirinya mengajak kita untuk menyeberangi kenyataan sejarah, sosial dan budaya dengan mencermati berbagai tabir pengetahuan dan skema-skema keyakinan yang digunakan untuk menyerang antar musuh, khususnya musuh seagama, baik secara individu maupun kelompok, melalui penafsiran terhadap kitab suci.[3]
2.      Kajian Hadits : Orietalis pertama yang menaruh minat cukup besar dalam bidang kajian hadis adalah Ignaz Goldziher. Di sini, pengaruh Goldziher bagi sarjana-sarjana Barat belakangan dalam bidang kajian hadis juga cukup kental, ketika di tahun 1890 ia menerbitkan Muhammedanische Studien. Dalam volume ke-2 bukunya tersebut, ia menegaskan tesisnya bahwa hadis lebih merefleksikan kontroversi hukum maupun doctrinal selama dua abad setelah kematian Muhammad, bukan kata-kata Muhammad sendiri. Selain itu,Ignaz Goldziher juga sangat meyakin bahwa keaslian hukum Islam berutang kepada hukum-hukum Romawi. Tonggak sikap skeptic yang dicanangkan Goldziher dalam menilai hadis ini memberi pengaruh sangat kuat bagi pandangan kesarjanaan Barat terhadap tradisi kenabian pada masa-masa selanjutnya.[4]
3.      Hukum Islam : berbeda dengan dugaan beberapa kalangan yang menyatakan bahwa “Islam terlahir sebagai sebuah sistem yang bulat dan sempurna,” kebulatan Islam, menurut Goldziher, jelas menunggu karya generasi muslim berikutnya. Seiring dengan perluasan agama dan wilayah kekuasaan Islam yang sedemikian cepat, dasar-dasar administrasi negara untuk mengurusi perkembangan baru di wilayah taklukan mulai diletakkan. Masalah terbesar yang dihadapi para Muslim terdahulu adalah bagaimana hukum agama memberi jawaban atas persoalan yang timbul akibat persentuhan Islam dengan dunia luar yang telah memiliki alam pikiran yang berbeda dengan dunia Arab. Agama Islam sendiri menurut Goldziher tidak sengaja dipersiapkan untuk menghadapi keadaan yang jauh di luar batas-batas negeri tempat kelahirannya. Menurutnya, kerja keras dan pikiran Nabi hanya tertuju pada masalah dan kondisi mendesak yang beliau jumpai saat itu. Oleh karena itu seperti halnya gagasan-gagasan dalam al-Qur’an, ketentuan yang digariskan Nabi bersifat khusus dan hanya terbatas pada milieu masyarakat primitif Arab. Beliau tidak memadai untuk menghadapi situasi baru dan tidak menjangkau peristiwa dan kondisi tak terduga yang disebabkan oleh perluasaan dan penaklukan Islam. Seandainyapun ada, ketentuan itu hanya mengatur hal-hal pokok saja, dan itupun masih belum jelas dan mantap. Oleh karena itu pemikiran hukum Islam dan terbentuknya institusi Islam merupakan karya generasi Islam berikutnya, yang muncul bukan tanpa perdebatan internal dan sikap kompromi yang terjadi dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.[5]
4.      Pokok-pokok Pemikiran Tokoh
-          Kajian Tafsir
Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu, untuk menegakkan kitab suci (al-Qur’an), bagaimana setiap dari mereka memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam tafsir dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang diusungnya. Menurut Goldziher, munculnya perdebatan seputar bacaan al-Qur an dalam generasi awal tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini. Ragam bacaan mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan.
-          Kajian Hadits :
Diskursus tentang otentisitas hadith merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi hadith. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maka secara normatif-theologis, hadith tidak mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadith. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadith pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856) dan Sir William Munir dengan karyanya life of  mahomet, namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadith tersebut.
Namun dalam tulisan ini, hanya akan dibahas satu tema dari sekian banyak tema yang ada dalam karyanya yang cukup monumental “Muslim StudiesMuhammedanisce Studies” yang dipublikasikan pada tahun 1896. Adapun tema yang akan dipaparkan adalah The Writing Down of Hadith, karena tema ini dianggap penting berdasarkan relevansi sebab-musabab (the cause) permasalahan munculnya penyerangan eksistensi hadith.
Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadith tertulis (Kitaba al-Hadith) secara umum. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadith adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut :
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadith merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadith baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadith yang membolehkan penulisan (prases pengkodifikasian) lebih banyak dari pada pelarangan hadith yang lebih mengandalkan pada hapalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadith melalui periwayatan Abu Hurairah “Tidak ada seorangpun yang hafal lebih banyak hadith selain aku, Namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadith ini.
Pergulatan pemikiran (ghazwu al-fikri) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya penulisan hadith, merangsang Ignaz Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang muncul kemudian. Di antaranya adalah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.” Selain itu juga karena kekhawatiran akan mensakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu (baca: Yahudi) yang mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.
Nampaknya Ignaz Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadith. Terlepas apakah periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa orientalis, khususnya Ignaz Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang telah ada. Berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan hadith, yaitu: pada abad ke-3 H. (masa Imam Bukhori dan Muslim), Abu Ali al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis, karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. Kemudian pada abad ke-6, penulisan hadith ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka dari Damaskus, yaitu Abu al-Qosim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.
Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadith yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadith-hadith klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadith, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadith yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.
Ketiga, Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadith sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama. Namun ternyata pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain al-Qur’an serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadith itu sudah terjadi sejak awal Islam.
Keempat, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadith yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadith dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadith sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadith disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.[6]
-          Kajian Hukum Islam :
Berangkat dari asumsi Goldziher yang sudah penulis paparkan itu kemudian ia mengatakan bahwa Hukum Islam itu selayaknya diarahkan untuk memenuhi dan menjawab permasalahan umat yang terus berkembang. Pentingnya mengkaji lebih dalam kembali asal-asul yang telah ada dalam hadits tidak akan menyalahi aturan selama hukum yang dihasilkan tidak sesat dan merupakan kesepakatan bersama. Menurut Goldziher prinspi terkahir hukum Islam yang sangat penting dan memberikan karakter khusus terhadap perkembangan hukum Islam adalah Ijma’. Bagi Goldziher, Ijma merupakan sarana untuk mengakhiri perbedaan pandangan di antara begitu banyak madzhab hukum klasik. Prinsip ini memperoleh legitimasinya dari sebuah ungkapan yang dikatan berasal dari Nabi :”Umatku tidak akan bersepakat dalam berbuat kesalahan (Dhalalah).” Konsekuensinya, apapun yang diterima dan disetujui oleh seluruh masyarakat Islam harus dipandang sebagai sesuatu yang benar. Berbeda sikap dan pendapat dengan ijma berarti telah keluar dari lingkungan masyarakat Muslim. Dengan demikian ijma, menurut Goldziher, merupakan otoritas legalitas yang paling penting dalam sistem hukum Islam klasik.[7] Sehingga dalam hukum saat sekarang mungkin pula bisa diterapkan landasan tersebut.
5.      Analisis Terhadap Tokoh
-          Dukungan dan pujian terhadap tokoh (pro) :
1.      Beliau merupakan ilmuwan yang sangat bersemangat dalam mengkaji Islam dan banyak memberikan sumbangan pemikiran dan penemuannya yang membantu perkembangan Ilmu pengetahuan dalam bidang ke-Islaman bagi umat Muslim.
2.      Bersifat profesionalis dalam mengkaji Islam sebagai Ilmuwan meskipun dia merupakan seorang non-Muslim.
3.      Semangatnya dalam mengkaji Islam dapat menjadi contoh bagi umat Muslim untuk lebih bersikap antusias dan apresiatif terhadap dan dalam mengkaji Islam untuk kemajuan keilmuan Islam ke arah yang lebih baik.



PENUTUP
Kesimpulan
Ignaz Goldziher mempunyai Obyek Material dan Formal sebagai berikut :
1.      Tafsir   : menggunakan pendekatan Historis-kritis dalam membangun sebuah asumsi tentang perbedaan tafsir al-Qur’an dengan melihat penjelasan dari Hadits Rasul serta peradaban muslim (arab kuno) hingga pada saat ini.
2.      Hadits : ia mempertanyakan ke-otentikan hadits karena berbeda dengan al-Qur’an yang sudah “bergaransi” dijaga keasliannya oleh Allah. Hal itu ia mulai dengan skeptisime terhadap hadits sehingga ia ingin mengkaji ulang hadits dengan pendekatan Historis-kritisnya.
3.      Hukum Islam  : perlunya pengkajian yang terus-menerus dalam menentukan sebuah hukum agar mampu dan sesuai dengan problem umat yang terus berkembang tanpa harus menyalahi aturan yang sudah Rasul terangkan dalam Haditsnya.
Pokok-pokok pemikiran Ignaz Goldziher :
1.      Mengedepankan sikap skeptis terhadap Hadits untuk kemudian mengkaji ulang hadits dengan pendekatan Historis-kritisnya Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadith tersebut.
2.      Goldziher berpendapat bahwa perbedaan dalam menafirkan al-Qur’an tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini, karena Ragam bacaan serta pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an termasuk kemukjizatan al-Qur’an
3.      Bersikap kritis terhadap hukum Islam yang telah ada dengan tujuan untuk menemukan atau menghasilkan hukum yang lebih solutif terhadap permasalahan umat Muslim merupakan hal yang seharusnya dilakukan agar Islam mampu menjadi rujukan bagi terselesaikannya masalah umat yang berbeda-beda dan terus berkembang.


Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…



Daftar Pustaka
Rahim, Abdul. “Sejarah Perkembangan Orientalisme” (data pdf-online) (diakses 13 Januari 2013); sumber web:

Badawi, Abdurrahman. Eksiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta: LkiS, 2003

Goldziher, Ignaz. Madzhab Tafsir : Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010

Syarifuddin, M. Anwar. Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadits (Data:pdf)

Fachruddin. Pembentukan, Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tinjauan Kaum Orientalis (data:pdf)

Jurnal al-Afkar (Siti Mahmudah Norhayati), “Hadits Di Mata Orientalis (Studi kritis Atas Pemikiran Ifnaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith)” (Data on-line) (diakses 13 Januari 2013); sumber web : http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith-di-mata-orientalis-studi-kritis-atas-pemikiran-ignaz-goldziher-tentang-penulisan-hadith/
\




[1] Abd Rahim, “Sejarah Perkembangan Orientalisme” (data pdf-online) (diakses 13 Januari 2013); sumber web: http://hunafa.stain-palu.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/6-Abd.Rahim_.pdf
[2] Abdurrahman Badawi, Eksiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 151-155
[3] Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir : Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. xi
[4] M. Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an dan Hadits (Data:pdf), hlm. 23
[5] Fachruddin, Pembentukan, Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tinjauan Kaum Orientalis (data:pdf),
hlm 2-3
[6] Jurnal al-Afkar (Siti Mahmudah Norhayati), “Hadits Di Mata Orientalis (Studi kritis Atas Pemikiran Ifnaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith)” (Data on-line) (diakses 13 Januari 2013); sumber web : http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith-di-mata-orientalis-studi-kritis-atas-pemikiran-ignaz-goldziher-tentang-penulisan-hadith/
[7] Fachruddin, Pembentukan, Perkembangan dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Tinjauan Kaum Orientalis (data:pdf), hlm 6