Kamis, 31 Oktober 2013

ULUMUL QUR'AN - NASIKH MANSUKH


 Pengertian Dan Perkembangan Makna Naskh, Nasikh, Dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Menurut istilah naskh ialal “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain”. Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Secara terminologi,terdapat perbedaan definisi nasikh. Para ulama mutaqaddimin abad ke-1 hingga ke-3 Hijriyah memperluas arti nasikh hingga mencangkup hal-hal berikut :
1.      Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
3.      Penjelasan yang datang kemudian terdapat hukum yang bersifat samar.
4.      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Menurut Fakhrurrazi, di dalam Al-Qur’an ada 3 jenis nasakh. Pertama, nasakh bacaan dan hukumnya. Kedua, nasakh bacaan namun hukumnya tetap. Ketiga, nasakh hukum namunbacaannya tetap
Rukun Nasikh
Rukun nasakh itu ada empat], yaitu:
1.    Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.    Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Ta’ala, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapuskannya.
3.    Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.    Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

 

Minggu, 27 Oktober 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN TAUHID

SEJARAH PERKEMBANGAN TAUHID

A.    LAHIRNYA TAUHID
Tauhid berasal dari Bahasa Arab, masdar dari kata  وحّد – يوحّد.  Secara Etimologis,  tauhid  berarti  Keesaan.  Maksudnya,  ittikad  atau  keyakinan  bahwa  Allah  SWT  adalah  Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “ Keesaan Allah “ ; Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan Allah.
Sejarah menunjukkan, bahwa pengertian manusia terhadap tauhid itu sudah tua sekali, yaitu sejak diutusnya nabi Adam. Adam mengajarkan tauhid kepada anak cucunya. Merekapun taat dan tunduk kepada ajaran Adam yang meng-Esa-kan Allah SWT. Tegasnya sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah diketahui dan diyakini adanya dan Esanya Allah pencipta alam. Hal ini (adanya tauhid sejak zaman Nabi Adam) seperti firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 25 yang berbunyi:
وما ا ر سلنك من قبلك من رسول الا نوحي اليه انه لا اله الاانا فعبدو
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus sebelum engkau seseorang rosul pun melainkan kami wahyukan kepadanya: bahwasanya tiada tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Aku, maka sembahlah Daku.”
Semua nabi mulai nabi Adam sampai nabi Muhammad, mengajar dan memimpin umat, untuk meyakinkan bahwa yang menjadikan alam atau pencipta alam semesta ini adalah Tunggal, Esa, yaitu Allah SWT. Demikianlah adanya garis lurus sejak Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad SAW yang meyakini dan memercayai suatu keyakinan dan kepercayaan yang tunggal tentang sifat dan zat pencipta alam yaitu Allah SWT.[i]
B.     NALURI BERAGAMA
Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman, dalam bukunya the idea of The Holy yang terbit pada 1917, seperti yang dikutip Karen Amstrong, mengatakan, kebutuhann manusia terhadap agama berawal dari ketakjuban mereka terhadap fenomena keteraturan dan keunikan alam semesta. Dengan pikiran dan perasaan yang dimilikinya, manusia berusaha memahami dan memecahkan fenomena tersebut yang akhirnya memunculkan rasa tentang yang Gaib, yaitu ada kekuatan besar yang mengatur alam semesta dan kehidupan mereka yang hakikatnya tak mampu dijangkau oleh akal pikiran mereka. Perasaan tentang yang gaib itu, lanjut Otto, adalah titik berangkat manusia ketika menjelaskan asal-usul dunia atau bagaimana menjalankan kehidupan yang baik di dunia.[ii]
Dengan demikian, manusia secara fitrah membutuhkan agama. Kebutuhan manusia terhadap agama berasal dari dalam diri manusia itu sendiri atau naluri alamiah (fitrah) manusia karena adanya respon dari luar. Fitrah alamiah manusia senantiasa menuntut untuk bertanya tentang hakekat alam dan manusia. Misalnya, adakah kekuatan yang mengatur dan mengendalikan alam semesta ini? Adakah kehidupan setelah kematian? dan pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya.[iii]
 C.    KETAUHIDAN DARI MASA KE MASA
Ilmu yang digunakan untuk menetapkan akidah-akidah diniyah yang di dalamnya diterangkan segala yang di sampaikan rosul dari Allah tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya agama di dunia ini. Para ulama’ di setiap umat berusaha memelihara agama dan meneguhkannya dengan aneka macam dalil yang dapat mereka kemukakan. Tegasnya, ilmu tuhid ini dimiliki oleh semua umat hanya saja dalam kenyataannyalah yang berbed-beda. Ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang sempit, ada yang luas, menurut keadaan masa dan hal-hal yang memengaruhi perkembangan umat, seperti tumbuhnya bermacam-macam rupa pembahasan.
Adapun ilmu yang menetapkan akidah-akidah islamiyah dengan jalan mengemukakan dalil dan mempertahankan dalil- dalil itu, tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya islam, dan dipengaruhi oleh perkembangan jalan pikiran dan keadaan umat islam.

Kamis, 24 Oktober 2013

KANDUNGAN IMAN KEPADA PARA NABI DAN RASUL

KANDUNGAN IMAN KEPADA PARA NABI DAN RASUL

Pertama: Meyakini dengan benar & mantap bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak untuk menyembah Allah saja & mengkufuri sesembahan selainNya. Artinya, substansi dakwah para rasul, dari yang pertama sampai yang terakhir sama, yaitu mentauhidkan Allah dalam uluhiyah, rububiyah & asma' wa sifat (nama & sifat Allah), & meniadakan lawannya atau meniadakan kesempurnaannya.[1] Begitulah, para nabi & rasul membawa agama satu, yaitu Islam, & setiap rasul menegaskan kepada kaumnya:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tak ada ilah bagimu selain Dia. [Al Mu'minun:23].
Dan firmanNya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), & jauhilah thagut itu. [An Nahl:36].
Seluruh syariat mengajak kepada tauhid. Itulah inti sari dakwah para rasul sejak Nabi Nuh Alaihissallam sampai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Inilah agama nabi yang pertama sampai nabi terakhir & para pengikut mereka, yaitu Islam. Agama Islam itu, intinya ialah beribadah kepada Allah saja yang tak ada sekutu bagiNya. Ibadah kepada Allah di setiap waktu & tempat, yaitu dengan mentaati para rasulNya. Sehingga seorang hamba beribadah kepadaNya dengan tak menyelisihi ajaran para rasul tersebut, sebagaimana orang yang Allah ceritakan dalam firmanNya:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tak diizinkan Allah. [Asy Syura:21].
Tidaklah beriman kepada Allah, kecuali orang yang beribadah kepada Allah dengan mentaati para rasulNya. Dan tidaklah beriman kepada Allah & beribadah kepadaNya, kecuali orang yang beriman kepada seluruh para rasul & mentaati mereka. Sehingga setiap rasul ditaati sampai datang rasul berikutnya, lalu ketaatannya diberikan kepada rasul yang tersebut”.[2]
Kedua: Beriman bahwa para rasul adalah orang nan memberikan petunjuk dakwah & bimbingan menuju hidayah, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَآأَنتَ مُنذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
Sesunguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; & bagi tiap-tiap kaum ada orang nan memberi petunjuk. [Ar Ra'd:7].
Dan firmanNya :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللهِ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan nan lurus. (Yaitu) jalan Allah. [Asy Syura:52, 53].
Adapun hidayah taufiq, hanyalah di tangan Allah, Dialah yang membolak-balik hati & mengatur segala perkara.[3]
Ketiga: Membenarkan kerasulan & mengakui kenabian mereka. Meyakini bahwa mereka jujur & benar dalam menyampaikan semua yang dari Allah. Mereka telah menyampaikan risalah Ilahi, serta menjelaskan kepada semua manusia semua yang tak mereka ketahui.[4] Para rasul tak pernah menyembunyikan 1 huruf pun dari risalah Ilahi. Mereka tak merubah, menambah & mengurangi dengan sesuatu. Allah berfirman:
فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
Maka tak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dgn terang. [An Nahl:35].
Barang siapa nan mengkufuri salah seorang dari mereka, berarti telah mengkufuri seluruh para rasul & kufur terhadap Allah nan mengutus mereka. Allah berfirman.
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَآأُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya & rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan): “Kami tak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya,” & mereka mengatakan: “Kami dengar & kami ta'at”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami, & kepada Engkaulah tempat kembali”. [Al Baqarah:285].
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُوْلاَئِكَ سَوْفُ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah & rasul-rasulNya, & bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah & rasul-rasulNya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian & kafir terhadap sebahagian (yang lain),” serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah & para rasulNya dan tak membedakan seorangpun diantara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa:150, 152].

Jumat, 18 Oktober 2013

HADITS AHKAM

HADITS AHKAM "Nikah Mut’ah"

A.    Teks Hadits & Terjemahannya
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيّة
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Hasan bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib bahwa pada saat perang Khaibar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan nikah mut'ah, melarang memakan daging keledai jinak.” (HR. Shahih Muslim : 2510)[1]

Sekularisme dan Perkembangan Islam Di Prancis

Sekularisme dan Perkembangan Islam
Di Prancis

  1. PENGERTIAN SEKULARISME
Menurut Ensiklopedi Britania, menyebutkan bahwa “sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata –mata berorientasi kepada dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sangat cenderung kepada Allah dan hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme tampil untuk menghadapinya dan untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang menampakkan ketergantungan yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan kemanusiaan dan kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia. Lalu orientasi kepada sekularisme yang merupakan gerakan perlawan terhadap agama dan ajaran Masehi terus berlanjut di celah-celah sejarah modern seluruhnya[1].
Di Kamus Oxford, menyebutkan sebagai berikut, Sekularisme artinya bersifat keduniaan atau materialisme, bukan keagamaan atau keruhaniaan. Seperti pendidikan sekuler, seni atau musik sekuler pemerintahan sekuler, pemerintahan yang bertentangan dengan gereja. Sekularisme adalah pendapat yang mengatakan bahwa agama tidak layak menjadi fondasi akhlak dan pendidikan[2].
Sekularisme ialah memisahkan agama dari kehidupan individu atau sosial dalam artian agama tidak boleh ikut berperan dalam pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum.
Dalam melacak etimologi dari istilah sekuler, Nikki Keddie mencatat bahwa kata tersebut diturunkan dalam bahasa Inggris pertengahan dari bahasa Prancis Kuno ‘seculer’ (yang juga diturunkan dari istilah Latin ‘saecularis’). Kata ini asalnya merujuk pada para pendeta yang tidak terikat oleh aturan – aturan keagamaan dari kelompok kebiaraan (monastic order). Keddie menambahkan : Dalam bahasa Inggris pertengahan, ia dapat pula merujuk pada alam duniawi sebagai lawan kata dari yang Ilahi – alam suci dan ukhrawi yang secara historis di Eropa Barat dimonopoli oleh Gereja Katolik Roma[3].
Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katholik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja.
  1. PENGARUH SEKULARISME