Minggu, 31 Maret 2013

ILMU MAJAZ AL - HADITS


  1. PENGERTIAN
Majaz menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah lafadz yang digunakan tidak pada mestinya dalam terminologi percakapan, dengan adanya Alaqah[1] dan Qorinah[2] yang mencegah terhdap makna asli[3]. Jadi yang harus kita garis bawahi disini adalah adanya pemalingan dari makna asli.
Ilmu yang menjelaskan tentang ungkapan kata dalam redaksi hadits yang tidak dimaknai sebagaimana makna aslinya, karena adanya qorinah bahasa (Lafdziyyah ataupun Haaliyah) yang mengharuskan hal tersebut.[4]
Dalam ilmu balaghah sendiri dibedakan antara kinyah dan majaz, tapi ketika memasukkan pembahasan majaz terhadap ilmu hadits disini disamakan. Majaz disini meliputi majaz lughawi, aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lain yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung atau yang dipalingkan terhadap makna asli, tetapi dapat dipahami dengan alaqah dan qarinah . Jadi, sebagai standard disini, suatu lafadz itu bisa dikatakan sebagai majaz ketika ada Alaqah yang melarang terhadap pemaknaan hakiki dan Qarinah yang mnyertainya.
Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling menguasai balaghah . Sabda-sabda beliau merupakan bagian dari wahyu. Maka kita pasti akan banyak menemukan majaz dalam hadis yang beliau sampaikan. Karena dengan menggunakan majaz pastilah orang lebih terkesan dengan apa yang beliau utarakan serta hal itu lebih baligh atau lebih dapat sampai kepada penerima hadits.
  1. Urgensi, Metode, dan Obyek Studi Majaz al – Hadits
Urgensi dari kajian majaz ini ada dalam beberapa hal[5] :
  • Memberikan pemahaman yang benar terhadap makna majaz yang digunakan oleh nabi dalam haditsnya. Dengan mempelajari majaz, akan membuka cakrawala kita tentang makna yang lebih tepat dari sebuah hadits.
  • Menjauhkan kita terhadap penta’wilan yang berlebihan terhadap hadits-hadits yang menggunakan majaz. Dengan mengetahui syarat yang ada dalam menggunakan majaz akan menghilangkan penta’wilan kita yang terlalu berlebihan yang sampai membuat pemahaman yang melenceng dari apa yang dimaksutkan teks hadits.
  • Menjauhkan dari pemahaman yang dipaksakan terhadap makna yang dipakai harfiah, sedangkan sebenarnya suatu hadits tersebut menggunakan majaz. Hal ini akan menyebabkan kesulitan dalam memahami suatu teks hadits.
  • Membedakan antara mana yang merupakan majaz dan yang hakiki.
Metode
Dalam buku Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, kita bisa simpulkan bagaimana yusuf Qardawi menggunakan metode ta’wil dalam memahami majaz hadits. Adapun langkah-langkahnya adalah:
Pertama, beliau mengaitkan pentakwilannya dengan al-Qur'an.
Kedua, dengan mengaitkan dengan hadis-hadis setema.
 Ketiga,mengambil dari pendapat ulama',
Keempat, pendekatan logika bahasa, dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal yang sehat, syari'at yang benar, pengetahuan yang pasti, dan fakta yang tidak diragukan.
Kemudian qarinah (indikator) yang digunakan adalah qarinah lafziyyah (indikator dalam teks) dan ini adalah yang diprioritaskan baru kemudian qarinah haliyyah (indikator diluar teks). Hal ini karena Yusuf al-Qaradawi dalam memaknai teks selalu berangkat dari makna apa yang terdapat dalam teks, sebelum mencari makna sesuai konteks.
Obyek
Obyek kajian dalam majaz menurut kami adalah matan hadits yang maknanya dipalingkan dari makna aslinya. Hal ni secara garis besar, sedangkan lebih detailnya pada lafadz yang dipalingkan atau lafadz yang tidak semestinya(tidak biasa) digunakan pada kalimat matan hadits.




C. Sebab – sebab terjadinya Majaz al- Hadits
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai sebab terjadinya pengalihan makna haqiqi ke makna majazi.[6]
Pertama, menurut Abu al-Fath ‘Usman Ibn Jinni, bahwa terdapat tiga alasan mengalihkan makna haqiqi ke makna majazi yaitu, Ittisa’ (perluasan makna), ta’kid (penguatan makna), dan tasybih (keserupaan makna).
Kedua, menurut ahli bahasa, yang menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan makna haqiqi ke makna majazi. Sebab – sebab tersebut antara lain:
  • Jika diungkapkan dengan ungkapan haqiqi terasa berat, karena mengandung konotasi yang terlalu berlebihan, sehingga perlu digunakan kata-kata yang lebih ringan untuk diucapkan.
  • Penggunaan ungkapan haqiqi mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
  • Penggunaan majaz adalah merupakan sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah lafaz dan maknanya, yang tidak dapat diungkapkan dalam bentuk haqiqi.
  • Penggunaan ungkapan majazi adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara karena sangat agung kedudukannya.
Ketiga, menurut Ibrahim Anis menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain:
Penjelasan makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasan makna yang abstrak menjadi makna dalam bentuk yang kongkrit, sehingga orang yang mendengarkannya mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dengan bentuk majaz.
Penggunaan majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang, semakin berkembang intelektual manusia maka hal – hal yang masih bersifat abstrak tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut adanya perluasan makna.

D. Kitab-kitab yang berkaitan dengan Majaz al-Hadits
·         Al-Majazat al-Nabawiyyah karya as-Syarif ar-Rida.
·         Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah Ma’alim wa Dhawabith karya Yusuf al-Qardhawi.


E.     Contoh Majaz al-Hadits
Shahih Bukhori : 1076[7]

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقِيلَ مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَالَ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash berkata, telah menceritakan kepada kami Manshur dari Abu Wa'il dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata: Diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang seseorang yang dia terus tertidur sampai pagi hari hingga tidak mengerjakan shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Syaitan telah mengencingi orang itu pada telinganya". (HR. Bukhori)
Kata بَالَ oleh orang-orang Arab digunakan untuk ditujukan kepada orang yang telah tampak pelanggarannya dan jelas kelemahannya. Adapun kata  بَالَ ini pada asalnya diambil dari kata الافساد  (kerusakan). Jika dimasukkan pada hadits diatas berarti maksud Rasulullah didalam hadits diatas yaitu sungguh setan telah berhasil merusak pendengaran dan memutus hubungan pemuda dengan tuhannya mengenai ketaatan dan shalat pada waktunya.
Maksud  بَالَ الشَّيْطَانُ  dalam hadits diatas adalah setan telah berhasil merobohkan dan merusak pendengaran seorang pemuda, dalam arti lain setan benar-benar merusak pendengarannya dan memutus hubungan pemuda tersebut  dengan tuhannya karena setan telah menguasai dirinya sehingga dia berhasil mencegah pemuda tersebut untuk melakukan shalat shubuh.[8]


Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…



[1] Yang dimaksud dengan alaqah dalam  kitab jawahirul balaghah adalah kesesuaian antara makna hakiki dan makna makna majaz.
[2] Yang dimaksud dengan qarinah disini adalah suatu perkara yang dijadikan sebagai dalil bahwa yang dimaksudkan bukan yang sebenarnya..

[3] Al-Hasimi Ahmad, Jawahirul Balaghah .(Surabaya: Hidayah)  hal 290
[4] Dr. Nurun Najwah, Hand Out Ulumul Hadits III
[5] Fairus Khalili, Majaz Ilmu Hadits, diakses pada tanggal 18 Maret 2013, dikutip dari http://agamaislam7.blogspot.com/2012/01/majaz-ilmu-hadits.html

[6] Dikutip dari skripsi M. Syafi’i “Pemahaman Yusuf Al- Qardhawi terhadap buku “Kaifa Nata’amal ma’a As- Sunnah An- Nabawiyah ma’ alim wa dhawabit” Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tahun 2009
[7] Software Lidwa Pusaka “Kitab 9 Imam”
[8] Al- Syarif Ar- Ridha, al-majazat an-nabawiyyah, (Mesir: Muassasah al- Halaby)  hal 102 dikutip dari http://16tholib.blogspot.com/2012/03/aplikasi-majaz-dalam-hadits-studi.html diakses pada 16 Maret 2013

2 komentar: