Selasa, 15 Mei 2012

PANDANGAN NEGARA PRANCIS TERHADAP JILBAB

Latar Belakang
Seiring meningkatnya kehadiran umat muslim di eropa telah menjadi isu sentral bagi semua penduduk negara eropa, timur maupun barat. Berbagai debat yang telah bermunculan mengenai identitas umat muslim yang berada di eropa, hal ini selalu dikaitan dengan faktor muslim
Dalam dunia yang tanpa batas karena pengaruh kuat globalisasi, nasionalisme sering kali berbenturan dengan agama. Dalam sejarah perjalanan manusia, pertentangan antara sekularisme dan fundamentalis atau pluralisme. Kalau politik identitas dikaitkan dengan para imigran beragama tertentu di suatu negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama lain, maka persoalannya menjadi lebih sensitif. Dalam hal ini persoalan diskriminasi berkait erat dengan isu rasisme, kelas, dan agama, yang membuat posisi perempuan menjadi kian rumit di tengah pergulatan politik identitas.
Para imigran yang beragama tertentu, hampir bisa dipastikan, akan lebih kuat ikatannya kepada sesama pemeluk agamanya dibandingkan dengan rasa kebangsaannya sebagai warga di negara yang baru. Rasa kebangsaan juga tetap muncul sebagai identitas di tengah negara migrasinya, seperti imigran asal Iran dan Aljazair di Perancis, imigran Irak di Australia, dan lain-lain. Melihat dari banyak kasus, ikatan persaudaraan antarsesama pemeluk keyakinan tertentu biasanya akan muncul lebih kental di tengah kegamangan dan keotoriteran negara. Penegasan identitas, baik atas dasar keyakinan maupun bangsa dan keturunan tertentu juga akan muncul begitu saja di tengah sistem otoritarian maupun sekulerisasi agama. Tidak bisa memahami bagaimana negara seperti Perancis bisa mengeluarkan undang-undang seperti itu.
Belanda juga negara yang sekuler, tetapi pengertian sekuler di Belanda berbeda dengan di Perancis. Di Belanda, tidak ada masalah orang menggunakan jilbab atau identitas agama lainnya di sekolah negeri atau apa pun sebagai ekspresi religius. Oleh karena itu Melihat fenomena yang bermunculan di eropa khususnya di negara prancis terhadap pemakaian busana muslimah (jilbab) maka penulis berinisiatif untuk mengangkat tema ini, kiranya kita semua mengetahui permasalahan tersebut.

 Pandangan Negara Prancis terhadap Jilbab 

Negara prancis merupakan negara eropa yang pertama melarang muslim untuk memakai  jilbab atau burga, Prancis ini menjadi Negara yang getol menerapakan langakah-langkah anti pemakaian jilbab. Isu jilbab ini meluas sebagai sebuah kontraversi ketika tahun 1989, tiga gadis muslim memakai jilbab ke sekolah umum dan sekolah negeri mereka ini di creil.  

Kepala sekolah ditempat ketiga gadis tersebut belajar memerintahkan ketiga gadis itu untuk melepaskan jilbab yang mereka kenakan dan memakai “pakaian biasa” seperti murid-murid perempuan lain di dalam kelas. Akan tetapi ketiga gadis ini dan juga orangtua mereka menolak perintah itu, dengan alasan bahwa memakai jilbab  adalah merupakan salah satu ibadah menurut agama yang mereka anut. 

Dengan adanya pelarangan penggunaan jilbab di sana. Tidak hanya diberlakukan di Negara prancis, juga di berlakukan di berbagai kawasan eropa lainnya dan di amerika. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa bangsa eropa, termasuk perancis memandang lslam sebagai Makhatir (sesuatu yang bahaya). Pertimbangan lain, masalah dibalik keluarnya undang-undang” pelarangan jilbab” ialah ketakuatan pemerintah Negara-negara barat (prancis) semakin berkembangnya islam Negara-negara tersebut. Sehingga dengan itu Negara barat khususnya Negara prancis senantiasa memburukkan citra islam dengan menggambarkan bahwa islam mengekang kaum muslimah dengan aturan-aturan agama yang sangat ketat.

Tapi pada intinya, di mata para pengamabilan kebijakan di prancis, jilbab adalah ancaman bagi paham sekuler yang mereka anut. Di Negara prancis sekularisme ini disebut sebagai prinsip laicite (versi sekularisme ala prancis yang dengan ketat memisahkan antara gereja dengan Negara). Bagi sebagaian orang prancis, jilbab adalah sebuah bentuk pameran symbol-simbol keagamaan. Mereka memaknai sebagai tantangan dari Negara islam terhadap prinsip utama Negara prancis yaitu, laicite. Di prancis, laicite ini di pahami bukan hanya sekedar sekuler, tetapi laicite ini adalah s ekularisme yang keras yang begitu anti dengan segala sesuatu yang berbau dengan simbol-simbol agama.

Alasan Negara Prancis Terhadap  "Pelarangan Jilbab"

Sebenarnya ada dua alasan yang menolak memakai jilbab ditempat umum mendominasi debat-debat tentang anti jilbab ini. Argemen pertama adalah klaim yang mengatakan bahwa sekularisme telah ditantang oleh jilbab. Para pendukung argumen pertama ini adalah orang-orang prancis dari aliran kiri yang memandang diri mereka sebagai pengawal aliran sekuler anti tradisi katolik yang didirikan pada saat terjadinya momen revolusi prancis.

Mereka melihat pendidikan umum adalah sebuah jalan untuk melawan kekuatan gereja. Para feminis yang ada dalam barisan pendukung ini berpendapat bahwa pemakian jilbab adalah sebauh bentuk tekanan terhadap perempuan. Di mata kelompok ini memakai jeans adalah simbol kebebasan, sementara memakai jilbab adalah simbol ketertundukan (Morruzi 1994). Di mata kaum sekuler prancis ini jilbab adalah sebuah ancaman besar bagi prinsip laicite (sekularisme ala prancis) yang mereka anut. 

Dalam pandangan kelompok ini, toleransi terhadap keyakinan beragama dibatasi hanya dalam lingkungan pribadi saja. Dimana perbedaan kultural bebas dari kontrol dan pengawasan. Sementara tempat umum adalah tempat dimana berlakunya aturan-aturan yang bersifat universal, sehingga semua warga prancis yang ada di tempat umum harus terlihat seperti orang prancis.

Argument kedua yang menolak pemakian jilbab, berasal dari politis aliran kanan yang juga menentang pemakaian jilbab dei tempat umum, tetapi dengan alasan dan konteks yang sama sekali berbeda dengan argument pertama. Mereka memandang isu jilbab ini sebagai pertempuran dan perebutan pengaruh antara islam dan Kristen. Dan juga mereka memandang isu terhadap jilbab ini sebagai ancaman terhadap identitas prancis yang disusupkan oleh para imigran.


Upaya Umat Muslim Menghadapi Permasalahan Tersebut

Setelah pemerintah Prancis resmi melarang penggunaan jilbab atau burka di tempat umum. kepolisian telah menerima arahan untuk mengimplementasikan pelarangan jilbab kepada masyarakat prancis, khususnya kepada umat muslim. Dan bagi siapa yang melanggar aturan tersebut maka akan di kenahkan denda sekira Rp 2 juta.

Peraturan itu sontak ditentang kaum muslim di Prancis. Rachid Nekkaz, makelar properti muslim menyerukan unjuk rasa di depan Gereja Katedral Notre Dame, Paris, melalui jejaring sosial. Saya menyeru kepada perempuan yang ingin bebas menggunakan jilbab di jalan," ujar Nekkaz yang telah menyiapkan properti senilai dua juta euro untuk mendanai kampanye itu. Walaupun menjadi kaum minoritas, populasi muslim Prancis yang mencakup 5 juta jiwa merupakan jumlah terbesar di negara-negara Eropa Barat.dari jumlah itu, kaum perempuan memakai jilbab kurang dari dua ribu jiwa.

Di antara para pengunjuk rasa tersebut terlihat seorang ulama Muslim ternama,
Yusuf al-Qaradawi, yang pernah mendesak pemerintah Prancis agar membatalkan UU
Pelarangan Jilbab bagi para siswa sekolah-sekolah "Larangan (jilbab) membangkitkan mentalitas ghetto," kata al-Qaradawi dalam
konferensi tersebut. "Anda menimbulkan kemarahan umat Muslim." Istilah ghetto ini di pakai oleh penduduk yang mendiami suatu Negara yang minoritas.
Al-Qaradawi menambahkan, "Apakah (pelarangan jilbab) ini bisa disamakan dengan
peradaban? Ini jelas sekali langkah mundur. Pelarangan jilbab melanggar
kebebasan individual dan kebebasan beragama." Ulama kelahiran Mesir, yang
dilarang memasuki Amerika Serikat sejak 1999 itu telah terlibat perdebatan
keras soal pelarangan jilbab dalam tur kampanye selama sepekan di Inggris.

Dampak Pelarangan Jilbab di Prancis

Dampak dari pelarangan Jilbab di Prancis mulai bermunculan, salah satunya di Negara yang lalu lintas wisatatawan sangat tinggi , yaitu Mesir. Beberapa surat kabar di Mesir memberitakan bahwa Pemerintah Mesir akan menerapkan aturan yang harus dita’ati oleh wisatawan eropa di Mesir terutama dalam berpakaian. Aturan yang dbuat itu adalah dilarangnya menggunakan celana panjang dan celana pendek bagi wanita dan setiap wanita wajib menggunakan rok sampai menutupi lutut mereka dan juga menggunakan baju hingga menutup lengan mereka.

Aturan ini dibuat berdasarkan jajak pendapat yang menyebutkan 62% Masyarakat mesir mendukung undang-undang yang mencerminkan perudang-undangan yang sudah diajarkan Al-Qur’an, dan 27 % lainnya mengatakan harus sesuai norma-norma agama. Kemungkinan besar, ini akan diikuti oleh Negara-negara lain yang berbasis Muslim sebagai perlawanan terhadap Eropa yang melarang penggunanan Jilbab seperti di Belanda , Jerman dan sebagainya.
Demo Muslim Prancis










DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hubungan Islam dan Barat Pasca 11 September 2001, makalah IAIN   Alauddin, 2005.
Kettani, M Ali. Minoriotas Muslim di Dunia Dewasa ini, Jakarta: Raja Grapindo Persada.2005
Artikel, Tasmuji, M.Ag. Dosen Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel   Surabaya
 Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar