Rabu, 29 Mei 2013

PENGANTAR HUKUM ADAT

PEMBAHASAN

A.    Istilah dan definisi Hukum Adat

            Istilah Hukum Adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda, ‘Adat-recht” yang pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada apa yang sebelumnya disebut dengan Undang-Undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya. Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum. Di dalam perundang-undangan istilah “adat-recht” itu baru muncul pada tahun 1920 dalam UU mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Dikalangan masyarakat atau dalam pergaulan rakyat umum hanya dikenal istilah “adat” saja.
            Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan atau tradisi. Hubungannya dengan hukum adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat menjadi atau dijadikan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
            Didalam Pengantar Ilmu Hukum kita ketahui bahwa adat dan kebiasaan adalah merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan diterimanya dan dipakainya istilah Hukum Adat yang kemudian menjadi salah satu cabang ilmu hukum, maka timbul beberapa defenisi yang merumuskan istilah tersebut. Antara lain sebagai berikut:
a.         Sarjana Barat (Belanda)
1)         Ter Haar
            Hukum adat adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa, pengaruh yang pelaksanaannya berlaku dengan serta merta dan dipatuhi sepenuh hati.
2)         Van Djik
            Hukum adat adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasikan dalam kelangan orang Indonesia asli dan kalangan timur asing (tionghoa, arab dll). Dengan istilah ini juga dimaksudkan bahwa semua kesusilaan disemua lapangan hidup. Van Djik juga membedakan antara Adat dan Hukum Adat yang keduanya berjalan bergandengan tangan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari.
b.         Sarjana Indonesia
1)         Soepomo
            Menunjuk kepada pasal 32 UUDS yang menyatakan, “….istilah Hukum Adat ini dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara, hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan, kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup di kota-kota maupun di desa-desa.
2)         Soekanto
            Hukum adat adalah keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman serta mempunyai akibat hukum.
3)         Kusumasi Pudjosewojo
            Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang akan diadatkan.  Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang adat dan sekaligus hukum pula. Dengan kata lain hukum adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis.
            Dari definisi dan uraian tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah adat yang mempunyai nilai dan kekuatan hukum, yaitu kaidah-kaidah asli sebagai endapan kesusilaan yang hidup yang berkembang di dalam masyarakat adat atau kelompok-kelompok rakyat Indonesia dan keberadaannya diakui oleh mereka.
Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

1.    Hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
-       Hukum Adat mengenai tata negara
-       Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
-       Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

2.    Wilayah Hukum Adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
a)      Aceh
b)      Gayo dan Batak
c)      Nias dan sekitarnya
d)     Minangkabau
e)      Mentawai
f)       Sumatra Selatan
g)      Enggano
h)      Melayu
i)        Bangka dan Belitung
j)        Kalimantan (Dayak)
k)      Sangihe-Talaud
l)        Gorontalo
m)    Toraja
o)      Maluku Utara
p)      Maluku Ambon
q)      Maluku Tenggara
r)       Papua
s)       Nusa Tenggara dan Timor
t)       Bali dan Lombok
u)      Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
v)      Jawa Mataraman
w)    Jawa Barat (Sunda)

B.     Sejarah Hukum Adat

Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu:
  1. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri.
Dimana peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra hindu. adat istiadat tersebut merupakan adat melayu. lambat laun datang di kepulauan kita ini kultur hindu, kemudian kultur islam dan kultur kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.
  1. Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sebelum zaman kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum adat. dalam zaman kompeni itulah baru bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.
  1. Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di indonesia.
Pada periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Masa menjelang tahun 1848,
  2. Pada tahun 1848 dan seterusnya, dan
  3. Sejak tahun 1927, yaitu hukum adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke ‘kodifikasi’.

C.     Dasar berlakunya Hukum Adat

a.       Dasar Filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi filosofis Hukum Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan jaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti juga yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945 RI.
Pokok-pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi hukum adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero, 1983:14). Dengan demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
b.      Dasar Sosiologis
Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem, artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo, 1986:100). Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap.
Dalam sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat dibedakan menjadi hukum tertulis (hukum yang tertuang dalam perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat, hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi hukum yang benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) dan ada hukum yang diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai contoh Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan diundangkannya dalam lembaran negara. Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat.
Hukum tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law). Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil.
Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu : People law, Indegenous law, unwriten law, common law, customary law dan sebagainya.
c.       Dasar Yuridis
Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan. Mempelajari segi yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih, 1984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada Jaman Kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan Jaman Indonesia Merdeka[1].
1. Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)
Sebelum Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan sebelumnya juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum penjajahan Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun 1925 diundangkan dalam Stb. No. 415 Jo. 577 berlaku mulai 1 Januari 1926 dimasukkan dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeleing) lengkapnya Wet Op De Staatsinrichting Van Nederlands Indie.
2. Jaman Kemerdekaan Indonesia
- Ketentuan UUD 1945
Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan  nasional yang memeperkuat berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain:
1. Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan bahwa:
- Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
- Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya dapat diperhatikan kenyataan-kenyataannya yang hidup di Indonesia. Dalam pemyempurnaan UU hukum perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan faktor-faktor agama, adat dan lain-lain.
2. UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.

D.    Tujuan mempelajari Hukum Adat

            a.         Tujuan Teoritis
            Tujuan Teoritis adalah untuk memelihara dan mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia. Dalam piagam Adatrechtstichting (Yayasan Hukum Adat) antara lain disebutksan : Menjamin kekalnya penyelidikan ilmiah terhadap hukum pribumi Hindia Belanda dan bagian-bagian lain dari nusantara yang tidak terkodifikasi serta memajukan studi mengenai hukum tersebut secara kontinyu.  
b.         Tujuan Praktis
            1)         Bagi Praktisi Hukum
            Agar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dapat mempertimbangkan dan menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Dalam hubungan ini Ter Haar mengatakan bahwa setiap hakim yang harus mengambil keputusan menurut adat, haruslah menginsyafi sedalam-dalamnya tentang sistem hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusian untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik.
2)         Bagi pembentuk Undang Undang
            Agar dalam pembentukan undang-undang atau peraturan perundang-undangan mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat atau adat pada umumnya, sehingga perundang-undangan yang dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi subjeknya.
c.         Tujuan idealis (Ilmu untuk masyarakat)
            Menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan rasa suka, cinta dan bangga terhadap bangsa dan budaya sendiri. Menjadi bahan utama dalam pemebentukan hukum nasional dengan membuang segi-segi negatifnya dan disesuaikan dengan sistem hukum modern.
            Hukum adat yang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Indonesia yang antara lain bersifat komunalitas (gotong royong) harus menjadi bahan utama dalam pembentukan hukum nasional Indonesia, agar sifat dan kepribadian yang positif dan mulia tersebut tidak hilang.

E.     Corak Hukum Adat

Soepomo mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaandan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1.  Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2.  Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3.  Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
4.  Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Moch. Koesnoe mengemukakan corak hukum adat :
1.  Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2.  Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;
3.  Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;
4.  Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.
Hilman Hadikusuma, mengemukakan corak hukum adat adalah:
1.  Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
2.  Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.  Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).
4.  Kongkrit/ Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak, terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)
5.  Terbuka dan Sederhana;
6.  Dapat berubah dan Menyesuaikan;
7.  Tidak dikodifikasi;
8.  Musyawarah dan Mufakat;
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.

F.      Lembaga Adat dan Peranannya

Adat bagi suatu bangsa merupakan ruh yang menggerakkan bangsa atau suku tersebut untuk menjaga eksitensi dan jati dirinya. Adat bukan saja bagian dari benda-benda peninggalan sejarah dan tata cara prilaku hidup masyarakat setempat, tapi juga merupakan bagian dari pranata sosial yang berfungsi sebagai suatu lembaga yang mampu menyelesaikan bermacam persoalan yang muncul dalam masyarakat. Dalam khazanah kebudayaan Aceh, adat sebagai institusi, walaupun wujudnya sekarang belum mengambil bentuknya seperti lembaga-lembaga/ institusi-institusi pemerintahan, tetap telah memainkan peran pentingnya dalam mengatur pola hidup bangsa ini.
1.      Pengertian Lembaga Adat
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literal ini, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Struktur adalah tumpukan logis lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan[2].
Menurut ilmu-ilmu budaya, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar[3].
2.      Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
3.       Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
-       Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
-       Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
-       Masuknya bangsa-bangsa lain, misal : Arab, China, Eropa.
4. Lembaga Adat Dalam Lintasan Sejarah
Kita misalkan saja pada satu contoh dimana mengkaji tentang Asal Usul Masyarakat Aceh diaman adat istiadat suatu komunitas dapat diketahui secara lebih detil dengan terlebih dahulu dikaji asal usul masyarakat tersebut, apakah masyarakat tersebut suatu kelompok yang homogen dan telah sangat lama menetap di pemukiman tersebut atau heterogen yang merupakan kumpulan pendatang lalu mendiami suatu daerah.
Untuk masyarakat Aceh dimana dalam peta wilayah ini didapati beberapa kelompok masyarakat yang memiliki khazanah budaya dan adat istiadat yang beragam dan kadang cenderung berbeda atau ada pula yang agak mirip. Dalam masyarakat Aceh yang barangkali orang menganggap sebagai satu kesatuan suku namun hakikatnya memiliki komunitas yang majemuk, ditemukan keragaman adat-istiadat dan tradisi yang diwarisi, sebagiannya ada yang memiliki kesamaan dan kemiripan, namun tidak sedikit pula yang berbeda.

G.    Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Hukum Indonesia

Hukum Adat dijadikan dasar bagi terbentuknya hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No. 11/MPRS/1960 dimana asas yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum adalah :
a)      Pembangunan hukum harus diarahkan pada homogenitas dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
b)      Harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur. Hukum adat dijadikan dasar bagi hukum nasional, karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.

H.    Hukum Pidana  Adat

            Sebenarnya hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata pada umumnya. Pemisahan ini dilakukan sekedar untuk memudahkan dalam mengenal dan mempelajari dengan mengambil perbandingan dari struktur hukum barat.
            Apa yang kita sebut dengan Hukum Pidana Adat ini juga tidak mengenal pembedaan secara tegas antara kejahatan dengan pelanggaran. Berat ringannya hukuman yang dijatuhkan lebih dipengaruhi oleh intensitas perbuatan (kejahatan atau pelanggarannya yang dilakukan serta akibat yang ditimbulkannya. Hukuman adalah sebagai sutau reaksi adat dalam rangka upaya untuk mengembalikan atau memulihkan keseimbangan kosmos yang telah terganggu, baik yang berkenaan dengan alam semesta, penguasa atau orang / badan / lembaga yang dihormati masyarakat, kelompok atau orang perorangan.
            Adat reaksi itu dapat dijatuhkan oleh Raja,Lembaga Adat, Pimpinan masyarakat, Pejabat tertentu atau bahkan oleh perseorangan. Hukum pidana Adat bersifat terbuka dan tidak mengenal apa yang disebut dalam ilmu hukum Prae existente regels yaitu penetapan terlebih dahulu tentang perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan diancam dengan hukum (pidana) sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 KUHP kita yang merupakan salah satu asas Hukum Pidana.
1.         Jenis-jenis Perbuatan (Tindak) Pidana Adat
            Dalam rangka upaya untuk mengenal dan sebagai pedoman untuk mempelajari hukum Pidana Adat dapat kita bedakan jenis-jenis perbuatan yang dilarang atau dipandang sebagai pelanggaran atau kejahatan atau dengan kata lain tindak pidana adat. Jenis tindak pidana adat dapat kita bedakan menurut objem perbuatannya, yaitu kepada apa / siapa perbuatan ditujukan, atau siapa yang dirugikan atau apa yang menderita kerusakan akibat perbuatan tersebut. Contohnya:
-           Alam semesta, seperti tempat-tempat yang dipandang suci, yang dianggap keramat dan sebagainya.
-           Martabat, kehormatan, kesusilaan (berakibat jatuhnya martabat atau harga diri)
-           Harta benda atau kekayaan material seperti memusnahkan, membakar, merusak, merampok, dan sebagainya.
2.         Hukum (pidana) adat
            Hukum atau tindakan yang dapat atau mungkin dijatuhkan atau dikenakan:
a.         Dibunuh (dihukum mati) caranya digantung, dipancung, dibenamkan di dalam air, dan lain-lain.
b.         Dibuang (diusir) dari negeri, untuk selama-lamanya atau untuk sementara. Tindakan tersebut juga dapat dilakukan oleh kerabat / suku / marga bisa bertindak terhadap warga
c.         Ditahan dengan cara dikurung atau dipasung atau diikat di dalam rumah, pekarangan atau ditempat terbuka.
d.         Membayar denda atau ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan dengan benda yang sama atau sejenis atau yang menyerupai atau dalam wujud lain (ganti uang/beras dan lain-lain).
e.         Membayar denda adat untuk negeri.
f.          Pernyataan permohonan maaf secara resmi dengan atau tanpa kewajiban sesuatu.
g.         Mengadakan perjamuan sebagai perwujudan perdamaian antara yang bersalah melakukan atau kerabatnya dengan pihak yang menjadi korban/dirugikan.
Dalam kasus-kasus tertentu korban atau pihak kerabat yang dirugikan dapat bertindak sendiri untuk menuntut balas jika dilakukan dalam jangka waktu tertentu, hal itu dipandang sah (wajar) atau ditolerir oleh adat (masyarakat).
Keputusan ada kalanya diambil oleh raja, seorang pejabat atau fungsionaris hukum atau suatu badan tertentu. Apa saja yang diputuskan dan bagaimana proses pengambilan keputusan tidaklah berlaku. Hal itu adalah merupakan salah satu ciri hukum adat sebagai hukum tidak tertulis. Adakalanya sanksi terhadap suatu perbuatan atau pelanggaran telah diketahui umum atau oleh orang-orang tertentu antara lian karena mencontoh keputusan terhadap kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Namun dalam pelaksanaannya belum tentu harus persis sama. Dalam penjatuhan hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tidak sengaja, yang baru sekali atau telah berulang, juga menjadi pertimbangan, demikian juga dengan umur Tersangka.

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

             Dari pembahasan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat telah lama lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan juga melihat dari tingkah laku masyarakatnya. Berkembangnya hukum adat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu agama, kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan hukum adat, hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing. Seiring dengan perkembangan zaman sehingga akhirnya Hukum Adat dijadikan dasar bagi terbentuknya hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum , karena merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian/jiwa bangsa Indonesia.
Adat merupakan suatu peraturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang sacara tidak langsung dikenakan.
Dasar berlakunya hukum  adat di Indonesia terdapat tiga dasar, yaitu meliputi:
a.    Dasar Filosofis : sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila.
b.    Dasar Sosiologis : bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya
c.    Dasar Yuridis : Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan.
-    Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda Dan Jepang)
-    Jaman Kemerdekaan Indonesia.
Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “lembaga” dan “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut Institution yang bermakna pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan.



[1] http://makalahkomplit.blogspot.com/2012/08/dasar-berlakunya-hukum-adat.html diakses pada tanggal 20 Mei 2013 pukul. 09.15 PM
[2] Mohammad Daud Ali, HukumIslam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 216
[3] Hendropuspita, Sosiologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hal.114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar