Rabu, 15 Mei 2013

SUKHRIYAH / PENGHINAAN



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tafsir adalah penjelasan Alquran. Bagi orang asing, Alquran perlu diperjelas supaya dapat dicerna, apakah itu dari tejemahan, atau penjelasan. Terjemahan atau penjelasan sendiri tergolong dalam tafsir. Di Indonesia khususnya, tidak semua masyarakat Islam dapat memahami ayat Alquran secara langsung, perlu adanya terjemahan resmi dan standar, dalam hal ini, telah dilakukan dan distandarkan oleh Departemen Agama. Jauh dari itu, banyak para pemikir ke-Islaman di Indonesia, juga menafsirkan ayat-ayat Alquran, seperti HAMKA, Hasbi ash-Shiddiqi, Abdul Halim Hasan, M. Quraish Shihab, dll.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang Sukhriyah atau penghinaan, pelecehan yang dijelaskan dalam ayat al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Sukhriyah?
2.      Bagaimana penjelasan ayat ayat al-Qur’an tentang sukhriyah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sukhriyah
Menurut bahasa سخر berarti“ mengejek, mencemoohkan, menghina”. Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya:
a.       Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.
b.      Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain
Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah :
“Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt. pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya penghinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”.
Yang dimaksudkan dengan penghinaan ialah memandang rendah atau menjatuhkan martabat seseorang, ataupun mendedahkan keaiban dan kekurangan seseorang dengan tujuan menjadikannya bahan ketawa. Ini boleh berlaku dengan menceritakan perihal orang lain dengan tutur kata, perbuatan, isyarat ataupun dengan cara lain yang boleh membawa maksud dan tujuan yang sama. Tujuannya ialah untuk merendahkan diri orang lain, menjadikannya bahan ketawa, menghina dan memperkecilkan kedudukannya dimata orang ramai dan hukumnya adalah haram.

B.     Ayat- ayat yang berhubungan dengan Sukhriyah / peleehan / penghinaan.
Surat al-Hujrat: 11

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ﴿١١
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Hujurat: 11).

1.      Tafsir Mufrodat
As-Syukhriyah: mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara yang menimbulkan tawa.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ : (Hai orang-orang yang beriman, janganlah berolok-olok)

قَوْمٌ     : (suatu kaum)

مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ : (kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari pada mereka yang memperolok-olok)

وَلَا نِسَآءٌ : (dan jangan pula wanita-wanita)

وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ : (dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk).
2.      Asbab an-Nuzul
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari dari Bani Tamin sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti. Ammar Ibnu Yasir dan Suhaib Ar-Rumi.

3.      Penafsiran ayat
Selanjutnya akan dikemukakan tafsiran-tafsiran ayat yang berkenaan dengan topik menurut para mufasir:

a.       Menurut Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar
Ayat ini pun akan jadi peringatan dan nasehat sopan-santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman. Itu pula sebabnya maka dipangkal ayat orang-orang yang beriman juga yang berseru: “Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain”. Mengolok-olokkan, mengejek, menghina merendahkan dan seumpamanya. Janganlah semuanya itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman.
.
Boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olokan. Inilah peringantan yang halus dan tepat sekali dari Tuhan. Mengolok-olok, mengejek dan menghina tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan selalu memiliki kekurangan yang ada pada dirinya. Maka dia akan tahu kekurangan yang ada pada dirinya itu. Hanya orang yang tidak beriman jualah yang lebih banyak melihat kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri.

b.      Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi:
Janganlah beberapa orang dari orang-orang mukmin mengolok-olok orang-orang mukmin lain. Sesudah itu Allah menyebutkan alasan, kenapa hal itu tak boleh dilakukan. Karena kadang-kadang orang yang diolok-olok itu lebih baik disisi Allah dari pada orang-orang yang mengolok-oloknya.
Barang kali orang-orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala, maka allah mengabulkannya.Maka seyogyanyalah agar tidak seorang pun yang berani mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya yang compang-camping atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar bicara. Karena, barang kali ia lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya daripada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya dirinya sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati Allah Ta’ala.

c.       Menurut Teungku M. Hasbi Ask Shiddiqy dalam Tafsir Al-Qur’anul Ma’id jilid V:
Janganlah suatu golongan menghina segolongan yang lain, baik dengan membeberkan keaiban golongan-golongan itu dengan cara mengejek atau dengan cara menghina, baik dengan perkataan ataupun dengan isyarat atau dengan mentertawakan orang yang dihina itu bila timbul sesuatu kesalahan.
Karena boleh jadi orang yang dihinakan itu lebih baik di sisi Allah dari pada orang yang menghinanya. Jangan pula segolongan wanita menghina dan mengejek golongan wanita yang lain, karena kerap kali golongan yang dihina itu lebih baik disisi Allah.

Janganlah kamu saling mencela, baik dengan perkataanng telah memel, baikpun isyarat atau dengan mencibir. Allah memberi peringatan bahwa mencela orang yang lain sama dengan mencela diri sendiri. Hal ini mengingat bahwa sekalian mukmin itu dipandang satu tubuh, yang apabila sakit salah satu anggotanya, maka seluruh tubuhnya merasa sakit pula.
Janganlah sebagian kamu memanggil sebagian yng lain dengan gelaran-gelaran buruk, umpamanya; “Hai munafik! Hai Fasik! Atau dia mengatakan kepada orang-orang yang telah memeluk Islam: Hai Yahudi, Hai Nasrani”.
Seburuk-buruk sebutan yang dipakai untuk memanggil seseorang yang sudah beriman, ialah dengan memanggilnya nama fasik. Semua ulama berpendapat haram kita memanggil seseorang yang dengan gelar yang tidak disenangi, baik dengan menyebut suatu sifat yang tidak disenangi, baik sifatnya sendiri atau sifat orang tuanya, ataupun sifat keluarganya.

d.      Menurut penulis:
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang-orang yang mukmin baik laki-laki ataupun perempuan dilarang mengejek dan menghina baik menyebutkan cacat ataupun kekurangannya atau menertawakan perbuatan dan perkataannya antara satu mukmin dengan mukmin lainnya. Karena mungkin orang yang berbuat begitu lebih rendah dari orang yang dihinakan, sedangkan manusia itu di sisi Allah Swt. dianggap sama.Di samping caci maki terhadap yang hidup, maka orang yang matipun juga dilarang dicaci maki.
Memberi nasehat serta mencintai kebaikan mereka serta tidak menghina dan tidak menipu mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Artinya: “Tidaklah seorang di antara kamu beriman sehingga ia mencintai saudaranya melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri".
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Artinya: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain; tidak meremehkannya, dan tidak menghinanya serta tidak menyerahkannya (kepada musuh), betapa buruknya jika seorang menghina (meremehkan) saudaranya yang muslim; segala yang ada pada seorang muslim adalah haram pada muslim lainnya baik darahnya, hartanya, dan harga dirinya".

Dan besabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Artinya: “Janganlah kalian saling membenci, saling bermusuhan, saling memata-matai dan janganlah sebagian kamu menjual (berakad) terhadap (akad) lainnya, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara".
Dari riwayat diatas, dapat kita pahami bahwa Rasul pun menekankan pada umatnya bahwa kita umat Islam adalah satu tubuh dan saling bersaudara. Sehingga jika satu sakit maka yang lain juga ikut merasakan dan membantu umat Islam tersebut. Bukan dengan saling menghina antara sesama. Bahkan rasulullah SAW, menyampaikan bahwa tidak beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya melebihi cinta kepada diri sendiri.
Menghormati dan memuliakan mereka serta tidak mengurangi kehormatan mereka merupan perbuatan yang mulia dan sangat besar pahalanya. Sesama Muslim senantiasa menyertai baik dalam keadaan sulit maupun lapang.
Berbeda dengan orang-orang munafik yang hanya menyertai orang-orang yang beriman dalam keadaan mudah dan senang saja dan meninggalkan mereka dalam keadaan susah. Oleh karena itu, kita, di tekankan oleh Allah SWT serta Hadits Nabi SAW, agar selalu menjaga ukhuwah Islamiyah, sehingga bisa saling tolong menolong dalam kebaikan.
Dampak dari perbuatan menghina itu tidak hanya berakibat pada orang yang dihina saja, tetapi juga pada orang yang penghina dan juga terhadap orang lain (masyarakat). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat Al-Anfal ayat 25, yang berbunyi:

وَٱتَّقُوا۟ فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمْ خَآصَّةً وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ ﴿٢٥
Artinya:
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya”. (Q.S. Al-Anfal: 25)

Dengan demikian jelaslah bahwa larangan penghinaan (fitnah) itu erat kaitannya dengan menjaga kehormatan dalam hukum Islam. Oleh karena itu setiap orang wajib memelihara dan menjaga kehormatan orang lain. Sebab hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketenangan dan ketentraman bagi masyarakat, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbahasa, tertulis maupun lisan, secara baik. Ini karena pemakaian bahasa yang baik akan mendatangkan kebaikan, tidak saja kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Sebaliknya pemakaian bahasa yang buruk atau jahat juga akan mendatangkan keburukan atau kejahatan, yang pada akhirnya akan kembali kepada dan dirasakan oleh dirinya sendiri.
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”. QS Al-Isra': 7).

Maka sungguh tepat sabda Rasulullah, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam". (HR Bukhari dan Muslim). Atau dalam sabdanya yang lain, "Semoga Allah memberi rahmat orang yang baik bicaranya dan dengannya ia memperoleh keuntungan atau diam dan dengannya ia selamat."
Abu al-Hasan Ali al-Nashri al-Mawardi mengemukakan empat syarat dalam berbicara,yaitu:
Ø  Ada perlunya berbicara
Ø  Pada waktu dan tempatnya
Ø  Berbicara secukupnya, dan
Ø  Diungkapkan dengan bahasa yang baik
oleh karena itu, kita dilarang dalam Al-Qur’an memperolok-olok sesame kita. Sebab dampak buruk dari perbuatan buruk kita, kita juga yang akan merasakan dampaknya. Sehingga kita sebaliknya disuruh menggunakan bahasa yang baik dan tidak kasar, sehingga tidak menyinggung orang lain. Dan persatuan umat Islam dapat terwujud. Jika ada perselisihan antara Islam dan Islam dapat diselesaikan dengan baik. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat al- Hujrat: 10;
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠
Artinya:
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-Hujurat: 10)

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Yang dimaksudkan dengan syukhriyah ialah memandang rendah atau menjatuhkan martabat seseorang, ataupun merendahkan keaiban dan kekurangan seseorang dengan tujuan menjadikannya bahan ketawa. Ini boleh berlaku dengan menceritakan perihal orang lain dengan tutur kata, perbuatan, isyarat ataupun dengan cara lain yang boleh membawa maksud dan tujuan yang sama. Tujuannya ialah untuk merendahkan diri orang lain, menjadikannya bahan ketawa, menghina dan memperkecilkan kedudukannya di mata orang ramai. Hukumnya adalah haram. Larangan menghina atau mengejek ini jelas dinyatakan di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sesuatu puak (dari kaum lelaki) mencemuh dan merendah-rendahkan puak lelaki yang lain, (kerana) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah pula sesuatu puak dari kaum perempuan mencemuh dan merendah-rendahkan puak perempuan yang lain, (kerana) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka.” (Q.S. Al-Hujuraat ayat 11). Termasuk di antara perbuatan menghina yang diharamkan itu ialah memanggil dengan panggilan atau gelaran yang tidak baik, yang tidak sedap didengar oleh orang yang kena panggil, di mana panggilan itu membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan cemuhan.
B.     Saran
Dari berbagai pemaparan penulis, baik dari tafsir-tafsir para mufasir diatas, penulis mengajak kepada kita semua agar menjauhi perbuatan sukhriyah atau menghina antara sesama. Sebab dengan perbuatan menghina tersebut dapat berakibat buruk bagi kita sesama muslim dan hanya akan menimbulkan permusuhan.

DAFTAR PUSTAKA

ü  Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Jilid XXVI. Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
ü  A.W. Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap”,. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
ü  Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXVI Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1982
http://notok2001.blogspot.com.
ü  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 13. Jakarta: Lentera Hati, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar