Senin, 30 Desember 2013

REVIEW BUKU “MADZAHIBUT TAFSIR”

REVIEW BUKU “MADZAHIBUT TAFSIR”

A.    Pendahuluan
Kaum Muslimin memiliki tradisi yang khas dibandingkan umat agama lain yang memiliki kitab suci. Alquran, sebagai kitab suci kaum Muslimin layaknya mata air yang tidak kering. Darinya kaum Muslimin menimba berbagai hikmah yang diperlukannya untuk menjalani kehidupan. Di dalam naungan Alquran, kreativitas keilmuan di kalangan umat tumbuh dan berkembang dengan suburnya. Lahir kemudian cabang-cabang ilmu keislaman yang telah beratus-ratus tahun memberikan manfaat bagi peradaban manusia.
Salah satu cabang ilmu terpenting berkaitan dengan Alquran adalah tafsir. Sejak zaman Nabi sampai sekarang, tradisi penafsiran Alquran tidak pernah berhenti. Berbagai corak tafsir pun diproduksi dari berbagai corak pemikiran. Sejarah mengenal berbagai macam corak penafsiran baik yang semasa maupun berbeda zaman.
Berbagai corak tafsir itu kemudian mencoba dipotret dan dipetakan oleh cendekiawan yang datang belakangan. Tercatat nama-nama seperti Muhammad Husain al-Dzahabi dengan karyanya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (1961), Abû Yaqzhan ‘Athiyyah al-Jabûrî dengan kitab Dirâsah fi al-Tafsîr wa Rijâlihi (1971) dan Abdul ‘Azhîm Ahmad al-Ghubasy yang menulis Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn (1977) dan lain-lain. (hal.3)
Di Indonesia, ada beberapa buku yang membahas beberapa kitab tafsir seperti Studi Kitab Tafsir yang ditulis oleh beberapa orang dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku yang secara khusus memeta-metakan berbagai corak pemikiran (madzhab) dalam bidang ini di antaranya ditulis oleh Abdul Mustaqim dengan tajuk Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Tulisan ini dimaksudkan untuk mereview buku yang disebutkan terakhir.
Kajian tentang Madzahibut Tafsir sendiri menjadi mata kuliah wajib studi Tafsir Hadits di berbagai perguruan tinggi yang membuka program studi Tafsir Hadits, termasuk Universitas Ahmad Dahlan.
Terma madzahibut tafsir sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang menerjemahkan buku Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung karya Ignaz Goldziher ke dalam bahasa Arab dengan tajuk Madzahib al-Tafsir al-Islami (1955).

B.    Review
Buku Madzahibut Tafsir karya Abdul Mustaqim dan disunting oleh Hudalloh ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit  Nun Pustaka Yogyakarta pada bulan Februari 2003. Dicetak dalam 137+xviii halaman, termasuk pengantar penulis, kata pengantar oleh Guru Besar Filsafat Islam dan Rektor IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, isi, daftar pustaka, indeks, dan biodata penulis.
Secara garis besar isi buku ini membahas tinjauan ontologis, epistemologis, serta aksiologis dari madzahibut tafsir yang diuraikan dalam Bab I, disusul dengan kategorisasi madzhab tafsir di dalam bab-bab selanjutnya. Bab II berisi Madzahibut Tafsir periode Klasik, Bab III Madzahibut Tafsir Periode Pertengahan, Bab IV Madzahibut Tafsir Periode Kontemporer, dan terakhir Bab V yaitu Penutup.
Menurut penulis, munculnya madzahibut tafsir merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Sebab, setiap generasi ingin selalu “megkonsumsi” dan menjadikanAlquran sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan perilakunya. Penulis mengafirmasi Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa setiap aliran pemikiran yang muncul dalam sejarah umat Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan justifikasi dari kitab sucinya (al-Quran) (hal. 4-5).
Secara rinci, faktor-faktor yang menyebabkan munculnya madzhab-madzhab tafsir secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal (al-‘awâmil al-dakhiliyah) dan faktor eksternal (al-‘awâmil al-khârijiyah).
Faktor internal adalah hal-hal yang ada di dalam internal teks itu sendiri, yaitu:
Pertama, kondisi teks Alquran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam. Dalam hal ini dikenal beberapa variasi bacaan Alquran yang dikenal dengan sab’atu ahruf.
Kedua, kondisi objektif dari kata-kata (kalimah) dalam Alquran yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
Ketiga, adanya ambiguitas makna dalam Alquran. Hal ini, misalnya disebabkan karena adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda), ataupun terdapatnya kata-kata yang dapat diartikan secara hakiki maupun majazi.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar teks Alquran, yaitu kondisi subjektif penafsir, seperti kondisi sosio-kultural, politik, pra-konsepsi. Selain itu, perspektif dan keahlian atau ilmu yang ditekuni oleh seorang mufasir juga merupakan faktor yang cukup signifikan.
Sebagaimana terlihat di awal review ini, kategorisasi yang dipilih oleh penulis didasarkan pada periodisasi kapan tafsir diproduksi. Tampaknya pemilihan kategorisasi ini mengikuti apa yang dilakukan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Hanya saja, penulis mengkritik kategorisasi al-Dzahabi yang dianggapnya menggunakan standar ganda. Di satu sisi al-Dzahabi mendasarkan pada kronologi waktu, tetapi kemudian, di sisi lain ia menggunakan kategorisasi berdasarkan kodifikasi.
Dalam masing-masing bab, penulis menyebutkan rentang zaman yang dimasukkannya pada periode klasik, periode pertengahan, dan periode kontemporer. Tafsir periode klasik adalah tafsir yang berkembang pada masa Rasulullah hingga munculnya tafsir masa pembukuan (akhir masa Daulat Bani Umayyah atau awal Daulat Bani Abbasiyah), yakni abad I H sampai abad II H.
Tafsir periode pertengahan dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan gengerasi sekarang sudah dalam bentuk buku (terkodifikasi dengan baik). Tampaknya penulis memasukkan seluruh masa pemerintahan Abbasiyah ke dalam periode ini ditambah masa ‘Utsmaniyah sampai masa Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha. Penulis sendiri memperkirakan periode kontemporer adalah dimulai dari Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha (yang disebutnya masa modern). Namun di sisi lain penulis menyatakan terdapat banyak perbedaan antara masa kedua mufasir ini dengan perkembangan tafsir yang terjadi saat ini. (hal. 91).

1.    Periode Klasik
Pada periode klasik dibahas madzahibut tafsir masa sahabat dan tabiin.
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam adalah awwalu al-mufassirîn, orang pertama yang menguraikan dan menjelaskan Alquran kepada umatnya. Pada waktu Nabi masih hidup, tampaknya tak seorang pun dari para sahabat yang berani menafirkan Alquran. Dalam QS al-Qiyamah [75]: 17-19, al-Nahl [16]: 44, dan al-Nahl [16]: 64 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam diperintahkan untuk menerangkan, menjelaskan, dan memberikan penafsiran mengenai wahyu yang telah diturunkan atas persoalan-persoalan yang diperselisihkan oleh umatnya dalam masalah-masalah keagamaan. (hal. 34-35)
Penafsiran Rasulullah bisa berbentuk sunnah qawliyyah, sunnah fi’liyyah, maupun sunnah taqririyyah. Penafsiran Nabi selalu dibantu oleh wahyu yang merupakan salah satu makna kemaksuman Nabi. Apabila para sahabat tidak mengetahui makna atau maksdu suatu ayat, mereka segera merujuk dan bertanya kepada beliau. (hal 35-36). Namun hal ini tidak berarti bahwa seluruh kandungan makna Alquran secara detil sudah dijelaskan oleh Nabi, sebab banyak ayat Alquran yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi dan itu merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk menjelaskannya. (hal. 36).
Setelah Nabi wafat, para sahabat mereasa terpanggil untuk ambil bagian dalam menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui dan pahami mengenai Alquran. Mereka pada dasarnya dapat memahami Alquran secara global berdasarkan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab yang menjadi bahasa Alquran, sedang pemahaman mereka secara detil atas Alquran memerlukan penjelasan dari Nabi berupa hadis-hadis, di samping ijtihad mereka sendiri. (hal. 37)
Para sahabat tidak sama pengertian dan pemahamannya terhadap Alquran, beberapa faktor, yaitu: 1) di dalam Alquran terdapat lafazh-lafazh gharib dan musykil yang hanya dapat diketahui melalui pemahaman atau penjelasan Nabi, 2) perbedaan penguasaan bahasa Arab, 3) perbedaan dalam intensitasnya mendampingi Nabi, 4) perbedaan pengetahuan tentang adat-istiadat orang jahiliyah, dan 5) perbedaan pengetahuan mengenai orang-oragn Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arb pada waktu diturunkan Alquran.
Sumber-sumber yang digunakan oleh para sahabat untuk menafsirkan Alquran adalah:
a.    Alquran
b.    Qiraah Syadzdzah
c.    Hadis Nabi
d.    Ijtihad. (hal. 38-42)

Karakteristik tafsir pada masa sahabat dapat disebutkan antara lain:
a.    Belum menjadi sebuah karya tafsir yang utuh. Hanya ayat-ayat tertentu saja yang danggap sulit pengertiannya yang diberi penafsiran.
b.    Tidak banyak terjadio perbedaan
c.    Tafsir bersifat global (ijmali)
d.    Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasar makna bahasa yang primer/pokok saja.
e.    Tidak ada penafsiran secara ilmi, fiqhi, dan madzhabi.
f.    Belum ada pembukuan tafsir, meski terdapat manuskrip berupa catatan.
g.    Merupakan bentuk perkembangan dari hadis, sebab tafsir pada mulanya hanya merupakan cabang dari hadis yang diriwayatkan dari Nabi mengenai hal-hal yang terkait dengan penafsiran Alquran. (hal. 43-44).

Para tokoh mufasir dari kalangan sahabat dapat digolongkan dari beberapa segi:
a.    Ditinjau dari popularitasnya: tokoh mufasir yang termasyhur ada 10 orang, yaitu: 1) Abu Bakar al-Shiddiq; 2) ‘Umar bin al-Khaththtab, 3) ‘Utsman bin ‘Affan, 4) ‘Ali bin Abi Thalib, 5) Ibnu Mas’ud, 6) Ibnu ‘Abbas, 7) Ubay bin ka’ab, 8) Zaid bin Tsabit, 9) Abu Musa al-Asy’ari, dan 10) Abdullah bin Zubair. Adapaun tokoh yang tidak begitu masyhur ada 6 orang, yaitu: 1) Anas bin Malik, 2) Abu Hurairah, 3) ‘Abdulah bin ‘Umar, 4) Jabir bin Abdullah, 5) Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dan 6) ‘Aisyah.
b.    Ditinjau dari intensitas dan kuantitasnya: tokoh-tokoh yang banyak  menafsirkan Alquran ada 4 orang, yaitu: 1) ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibn ‘Abbas, 3) Abdullah Ibn Mas’ud, dan 4) Ubay bin Ka’ab. Sedangkan tokoh-tokoh yang relatif sedikit dalam penafsirannya terhadap Alquran di antaranya: 1) Zaid bin Tsabit, 2) Abu Musa al-Asy’ari, 3) Abdullah bin Zubari, 4) Abu Bakar, 5) Umar bin Khtaththab, 6) ‘Utsman bin Affan, 7) Anas bin Malik, 8) Abu Hurairah, 9) Abdullah bin ‘Umar, 10) Jabir bin Abdullah, 11_ Abdullah bin Amr bin Ash, dan 12) Aisyah.

Sebagai salah satu contoh penafsiran sahabat, diuraikan cukup lebar tentang tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, seorang sahabat yang diberi gelar turjumanul quran. Di antara contohnya adalah ketika menafsirkan ayat idz antum muslimun (Ali ‘Imran [3]: 80) dengan ayat Alquran surat al-Baqarah [2]: 132.
Pada masa tabiin, aliran-aliran tafsir dikategorikan menjadi tiga kelompok:
a.    Aliran Tafsir di Makkah, ditokohi oleh murid-murid Ibnu ‘Abbas, seperti: Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas, dan Thawus bin Kisan al-Yamani. Para tabiin ini meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas tentang hal-hal yang musykil kepada generasi berikutnya dan menambahkan pemahamannya. Aliran ini sudah mulai memakai dasar aqli (ra’yu).
b.    Aliran Tafsir di Madinah
c.    Aliran Tafsir di Iraq

Karakteristik tafsir pada masa tabiin secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    belum terkodifikasi secara tersendiri
b.    masih bersifat hapalan dan peiwayatan
c.    sudah kemasukan riwayat-riwayat Israiliyat
d.    sudah muncul benih-benih perbedaan madzhab
e.    sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabiin dengan para sahabat.

Adapun tokoh ahli tafsir di kalangan tabiin yang termasyhur dari Makkah antara lain Mujahid ibn Jabbar (w. 103 H), Said in Jubair (w. 94 H), Ikrimah (w. 105 H), Thawus bin Kisan al-Yamani (w. 106 H), serta ‘Atha` ibn Rabah al-Makki (w. 114 H).
Dari Madinah ada nama-nama seperti Abdurrahman ibn Zaid (w. 182 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Hasan al-Bashri (w. 121 H), ‘Atha` bin Abi Muslim al-Hurani (w. 135 H), dan masih banyak lagi.
Sedangkan dari Iraq dikenal nama-nama seperti Alqamah bin Qais (w. 102 H), al-Aswad ibn Yazid (w. 75 H), Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H), serta al-Sya’bi (w. 105 H)

Kelebihan tafsir pada masa klasik secara umum adalah:
1)    Tidak bersifat sektarian
2)    Tidak banyak perbedaan pendapat mengenai hasil penafsirannya
3)    Belum kemasukan riwayat-riwayat Israiliyyat yang dapat merusak aqidah Islam

Sementara kekurangannya, antara lain:
1)    Belum mencakup seluruh penafsiran ayat Alquran
2)    Penafsiran masih bersifat parsial
3)    Pada masa tabiin sudah mulai besifat sektarian
4)    pada masa tabiin sudah mulai kemasukan riwayat-riwayat israiliyyat.

Signifikansi kajian madzahibut tafsir yang disebutkan dalam buku ini antara lain:
1)    Untuk membuka wawasan dan menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran Alquran.
2)    Untuk mengembangkan dan menyadarkan adanya pluralitas dalam penafsiran Alquran.
3)    Untuk menghindarkan sikap taqdis al-afkar.

2.    Periode Pertengahan
Tafsir pada periode pertengahan memiliki karakteristik antara lain:
1)    Pemaksaan gagasan asing ke dalam penafsiran Alquran
2)    Banyaknya pengulangan (al-tikrar) dan bertele-tele (al-tathwil)
3)    Bersifat atomistik (parsial)

Sedangkan corak yang mewarnai perode ini adalah:
1)    Tafsir Corak Fikih
2)    Tafsir Corak Teologis
3)    Tafsir Corak Sufistik
4)    Tafsir Corak Falsafi
5)    Tafsir Corak ‘Ilmi

3.    Tafsir Periode Kontemporer
Karakteristik tafsir periode kontemporer adalah:
1)    Menjadikan Alquran sebagai kitab petunjuk
2)    Mengungkap ”Ruh” Alquran

Pola pendekatan yang dipakai pada periode ini kebanyakan adalah ijmail dan mudhu’i. Tokoh yang pertama mengemukakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penafsiran dengan metode maudhu’i adalah al-Farmawi dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsîr al-Mawdhû’î. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, menetapkan masalah yang akan dibahas. Kedua, menghimpun masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah tersebut. Ketiga, menyusun runtutan ayat sesuai dengan urutan pewahyuannya serta pemahaman tentang asbab al-nuzulnya. Keempat, memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Kelima, menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna. Keenam, melengkapi dengan hadis-hadis yang relevan. Ketujuh, mempelajari ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikanm antara yang ’amm dengan yang khashsh, yang muthlaq dengan yang muqayyad atau yang secara lahiriah tampak bertentangan, sehingga dapat bertemu dalam satu muara.
Pola pendekatan lain yang berkembang pada periode ini adalah pola yang dikembangkan oleh para mufassir-feminis. Para feminis mengambil begitu saja ayat-ayat yang akan ditafsirkan kemudian ”mengutak-atik” ayat-ayat yang berkait dengan relasi gender melalui ”pra-konsepsi” tertnetu yang memposisikan keseteraan laki-laki dan perempuan.
Pada periode kontemporer ini, ada beberapa metode baru dalam penafsiran Alquran yang mencoba diperkenalkan oleh para penggagasnya. Sebut saja Fazlur Rahman dengan metode ”Tafsir Kontekstual”. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika model Emilio Betti, Rahman mengajukan teori ”gerakan ganda” (double movements). Metode ini di antaranya diikuti oleh Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, dan Amina Wadud Muhsin.
Hassan Hanafi mencoba mengenalkan metode yang disebut oleh Muhammad Mansur sebagai ”Penafsiran Realis”. Ada pula Muhammad Arkoun yang menawarkan suatu metode yang berorientasi pada pemaknaan aktual terhadap Alquran. Sedangkan Nasr Hamid Abu Zaid lebih mengedepankan pendekatan sastra dalam upaya memahami Alquran. Selain itu masih ada Muhammad Shahrur, Mahmoud Muhammad Thaha, serta Asghar Ali Engineer yang disebut penulis dalam periode kontemporer ini.
Shahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisis paradigmatis dan sintagmatis setelah melakukan tartil ’inter-tekstualitas’. Mahmoud Muhammad Thaha mengajukan teori yang disebutnya sebagai ”evolusi syariah”. Teori ini membagi Alquran menjadi dua kategori: Makkiyah dan Madaniyah. Pemahaman terhadap nilai Alquran harus dikembalikan pada apa yang dikatakan oleh ayat-ayat Makiyyah ini, bukan pada ayat-ayat Madaniyah karena sifatnya yang temporer. Asghar Ali Enginer berupaya menekankan bahwa ayat-ayat Alquran memiliki dua dimensi makna: historis dan normatif. Sisi normatif inilah yang harus dipegang karena inilah yang universal. Sementar makna historis hanyalah bersifat kontekstual yang oleh karenanya harus dipahami tak lebih sebagai ”cara” Tuhan untuk menyelesaikan problem manusia yang bersifat historis.

C.    Kritik
Ada beberapa kritik dari reviewer tehadap buku ”Madzahibut Tafsir” yang dalam kesempatan ini hanya akan disampaikan secara singkat.
1.    Apabila penulis mengkritik al-Dzahabi yang kurang konsisten dalam kategorisasinya, kritik yang sama juga kiranya bisa disampaikan kepada penulis dalam kategorisasinya. Sebab faktanya penulis terlihat agak kurang yakin tentang penempatan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada periode yang mana, meski akhirnya kedua tokoh itu diposisikan dalam periode kontemporer.
2.    Ketika memaparkan tafsir periode kontemporer, penulis terlihat hanya memperhatikan tokoh-tokoh yang justru mengambil metodologinya dari hermeneutika yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Barat-sekular yang belum tentu cocok dengan karakteristik Alquran itu sendiri. Padahal di sisi lain, pada periode kontemporer pun masih melimpah tokoh-tokoh di bidang tafsir yang masih mempertahankan metodologi yang murni berasal dari khazanah Islam.
3.    Tidak seperti pemaparan pada periode klasik maupun pertengahan, pada periode kontemporer penulis hampir tidak memberikan kritik sama sekali terhadap berbagai perkembangan yang terjadi. Penulis misalnya menyatakan bahwa tafsir pada periode pertengahan didominasi oleh ”kepentingan”. Namun kritik yang sama tidak dilakukan pada periode kontemporer yang juga sarat ”kepentingan” dan ”pra-konsepsi”.
4.    Bagaimana pun sebuah petualangan ilmiah harus dikhidmatkan untuk pencarian kebenaran. Sayangmya, ketika menyampaikan signifikansi hal itu sama sekali tidak disinggung. Seberapa pun beragam aliran-aliran tafsir yang ada, menurut hemat reviewer, tetap saja ada di antaranya yang perlu untuk dihindari dalam rangka pemurnian keilmuan Islam dari hal-hal yang asing dalam agama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar