Jumat, 08 Juni 2012

HUKUMAN MATI DAN HAM


HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA

“ Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu Memberlakukan qishash atas pembunuhan. ‘‘nyawa’’Orang merdeka bayar dengan merdeka, budak bayar budak, perempuan bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka lakukanlah Dengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian (memaafkan itu) merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya.....’’.

Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut:

“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.”

Atas dasar pertimbangan politik hukum di Indonesia , hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.

 3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.

4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia . Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Pemerintah RI sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para WNI-nya di luar negeri, seperti pada kasus Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap WNI dan WNA di dalam negeri RI.

Memulai membicarakan topik Hukuman Mati vs Hak Asasi Manusia akan lebih baik kita menelaah terlebih dahulu tentang pengertian dan definisi Hak Asasi Manusia. Pengertian hak asasi manusia menurut UU no. 39 tahun 1999 :
“Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Dari beberapa sumber lainnya saya menyimpulkan pengertian dan definisi hak asasi manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak di dalam kandungan yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah Tuhan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat digugat siapa pun dan harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat maupun negara.

HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian dari negara atau masyarakat. Dalam hak-hak tersebut terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu ciri dari negara hukum.

Pro dan Kontra
Jauh sebelum adanya pendapat-pendapat sekarang yang pro hukuman mati, maka C Lambroso dan Gafalo adalah dua figur pendukung hukuman mati. Keduanya berpendapat, bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi (Andi Hamzah dan Sumangelipu : 27).

Sekalipun ada yang tidak sependapat tentang diberlakukan hukuman mati dengan alasan, bahwa hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Perlu dipertanyakan juga tentang apakah hak asasi manusia itu? Secara normtif sebagaimana tersurat dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa : "Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, maka tidak ditemukan ketentuan, bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM karena terpidana mati juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara apabila tidak demikian mana mungkin hak asasi manusia dapat ditegakkan. Dengan perbuatan-perbuatan seperti tersebut di atas (terorisme dan kejahatan narkoba) justeru pelakunya telah melanggar HAM orang lain.

Ada pendapat bahwa hukuman mati tidak layak dilaksanakan dengan alasan, bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai, dan sifatnya mutlak artinya tidak dapat ditarik kembali (Beccaria : 1864). Itulah sebabnya Jaksa Agung (Abdurahman Saleh, waktu itu) berposisi dilematis sebelum mengeksekusi Tibo cs. Pendapat yang menolak hukuman mati juga beralasan untuk menghindari terjadinya peradilan sesat (vide Hermann Mostar). Alasan yang umum dari penentang hukuman mati ialah hukuman mati bertentangan dengan Pancasila, HAM, etika dan moral.

Semoga apa yang kami posting pada blog ini bermanfaat bagi pembacanya….!!!
Amien yaa Robbal Alamien…

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus